WahanaNews.co | Pertempuran selama dua hari di Voznesensk menunjukkan bahwa Ukraina tidak bisa dipandang sebelah mata meski mereka kalah dalam hal jumlah dan persenjataan.
Kremlin berusaha mengambil alih kota tersebut sejak 2 Maret lalu setelah mereka berhasil menguasai Kherson.
Baca Juga:
Merasa Dikucilkan dari Pembicaraan AS-Rusia, Zelensky Naik Pitam
Jembatan Voznesensk hancur berkeping-keping. Bukan tentara Rusia yang mengebom jembatan tersebut, melainkan pasukan Ukraina dan penduduk sekitar.
Itu dilakukan agar pasukan Rusia beserta kendaraan lapis bajanya tidak bisa lewat dan menguasai kota strategis tersebut.
Voznesensk memiliki jembatan untuk melintasi Sungai Southern Buh. Itu adalah sungai terpanjang kedua di Ukraina.
Baca Juga:
Zelensky: Rusia Bersiap Serang NATO, Polandia dan Lithuania Terancam
Jika bisa mengambil alih Voznesensk, pasukan Rusia bisa menuju Odessa dari jalur belakang dan menuju pembangkit tenaga nuklir Yuzhnoukrainsk. Dari lima pembangkit nuklir di Ukraina, itu adalah yang terbesar kedua.
Pasukan Ukraina dibantu relawan yang merupakan warga kota tersebut. Mereka tak memiliki senjata modern dan tank seperti Rusia.
Pasukan Ukraina memakai granat, peluncur roket, rudal javelin, dan artileri. Sedangkan penduduk setempat menggunakan pistol berburu, batu, dan stoples untuk menyerang tentara Rusia. Warga memblokade jalan dan menggiring pasukan Rusia ke tempat terbuka yang mudah diserang.
’’Ini adalah lokasi strategis. Kami tidak hanya mempertahankan kota, tapi juga semua teritorial di belakangnya,’’ tegas Yevheni Velichko, wali kota Voznesensk, seperti dikutip BBC.
Mayoritas dari 35 ribu penduduk kota tersebut berbicara dengan bahasa Rusia. Namun, mereka bukan golongan oposisi.
Mereka justru menentang invasi. Perlawanan gila-gilaan itu memukul mundur pasukan Rusia. The Wall Street Journal melaporkan bahwa setidaknya 100 tentara Rusia tewas dan 10 lainnya tertangkap. Pasukan Rusia meninggalkan 30 di antara 43 kendaraan mereka. Termasuk tank, pengangkut personel lapis baja, peluncur roket ganda, dan truk.
Perang masih berlangsung dan Voznesensk belum aman. Saat ini sebagian penduduknya mulai mengungsi.
Sirene tanda bahaya juga kerap meraung di kota tersebut. Hari ini tepat sebulan invasi Rusia ke Ukraina. Negara yang dipimpin Volodymyr Zelensky itu porak-poranda. Kota-kota besar mulai luluh lantak. Namun, mereka masih berusaha bertahan dari gempuran Rusia. Ia mematahkan prediksi negara-negara Barat bahwa Ukraina akan jatuh ke tangan Rusia dalam hitungan hari pascainvasi.
Kantor HAM PBB (OHCHR) melaporkan, hingga 20 Maret, total ada 925 warga sipil yang meninggal. Sebanyak 75 di antaranya adalah anak-anak. Selain itu, 1.496 orang lainnya luka-luka. Jumlah di lapangan sangat mungkin lebih banyak. Sebab, di beberapa wilayah, tim penyelamat tak bisa mengakses gedung-gedung yang hancur setelah dibom.
Salah satunya gedung teater di Mariupol yang dibom Rusia. Padahal, di dalamnya ada lebih dari seribu perempuan dan anak-anak. Hingga kini, belum ada laporan resmi berapa korban jiwa dari pengeboman tersebut. Menurut sejumlah kesaksian, jenazah tentara dan warga sipil bergeletakan di jalanan kota Mariupol. Tidak ada yang bisa dilakukan karena Rusia menggempur kota itu habis-habisan.
Berdasar data Badan Pengungsi PBB (UNHCR), lebih dari 3,6 juta warga Ukraina telah mengungsi ke negara-negara sekitar. Enam juta orang lainnya mengungsi di kota-kota dalam negeri yang dirasa masih aman.
Di pihak Rusia, jumlah korban jiwa juga sama besarnya. Awal Maret, Kementerian Pertahanan Rusia mengakui bahwa 498 tentara mereka tewas dan 1.500 lainnya luka-luka. Jumlah itu cukup besar jika menilik pengumuman diberikan 10 hari pascainvasi. Namun, Ukraina dan AS mengklaim bahwa jumlahnya 10–30 kali lipat dari data yang dirilis tersebut. [tum]