WahanaNews.co | Migrasi penduduk akan meningkat seiring memburuknya kondisi bumi.
Tanpa aksi nyata kebijakan perubahan iklim, hal itu akan berakhir menjadi krisis global.
Baca Juga:
BMKG Kalsel Intensifkan Edukasi Masyarakat Terkait Peningkatan Suhu Signifikan Lima Dekade Terakhir
Siapkah negara-negara menghadapinya?
Perubahan iklim bukanlah fenomena yang hanya berkaitan dengan perubahan lingkungan saja.
Dalam prosesnya terjadi perubahan ekonomi, sosial, politik, dan demografi.
Baca Juga:
Buka Indonesia International Sustainability Forum 2024, Presiden Jokowi Sampaikan Strategi Penanganan Perubahan Iklim
Semuanya berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Misalnya, perubahan iklim yang menyebabkan muka air laut naik akan mengubah penghidupan masyarakat pesisir.
Yang biasanya hidup dari hasil tambak kini harus mencari cara lain karena lahan tambak hilang karena tergenang air laut.
Pilihannya bertahan dengan berganti mata pencarian atau berpindah tempat untuk mencari kehidupan yang lebih baik.
Namun, fenomena migrasi ini sering kali terabaikan dalam strategi menghadapi perubahan iklim.
Denyut peningkatan migrasi akibat perubahan iklim tergambar dari data Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
Hingga April 2021, jumlah pengungsi iklim meningkat menjadi 21,5 juta jiwa.
Definisi pengungsi iklim ini adalah mereka yang berpindah dari daerah asalnya karena bencana dan fenomena alam terkait perubahan iklim.
Laporan Bank Dunia berjudul ”Groundswell Part II” menyebutkan, tanpa adanya aksi nyata untuk menekan perubahan iklim, pada 2050 sebanyak 216 juta orang di enam wilayah akan bermigrasi.
Mereka adalah 86 juta orang di Sub-Sahara Afrika, 49 juta jiwa di Asia Timur dan Pasifik, 40 juta orang di Asia Selatan, 19 juta jiwa di Afrika Utara, 17 juta orang di Amerika Latin, serta 5 juta jiwa di Eropa Timur dan Asia Tengah.
Migrasi yang dimaksud adalah perpindahan penduduk antarwilayah di dalam batas negara masing-masing.
Masalahnya, migrasi massal ini akan berdampak pada sektor kehidupan lainnya.
Jika tidak direncanakan dengan baik, hal ini menjadi sumber permasalahan baru.
Strategi Adaptasi
Migrasi karena perubahan lingkungan sebenarnya sudah biasa terjadi.
Sejak dahulu, nenek moyang kita pun melakukan hal yang sama karena mengikuti kondisi lingkungan sekitar.
Migrasi secara permanen dan temporal menjadi strategi bertahan hidup menghadapi krisis kerusakan lingkungan dan wabah penyakit.
Meskipun pemicu migrasi terdiri dari berbagai faktor pendorong, perubahan iklim menjadi salah satunya.
Tentunya keputusan ini berdasarkan banyak pertimbangan, seperti intensitas bahaya akibat perubahan iklim yang dihadapi, kemampuan atau kapasitas memitigasi dan beradaptasi, serta tingkat kerentanan terhadap perubahan tersebut.
Berdasarkan faktor-faktor itu, dapat dipetakan siapa saja yang berpotensi melakukan migrasi perubahan iklim.
Mereka adalah kelompok masyarakat menengah bawah, tinggal di tempat yang terpapar bahaya perubahan iklim, dan yang penghidupannya bergantung pada alam.
Bank Dunia memprediksi jumlah migran perubahan iklim berdasarkan kerentanan terhadap kelangkaan air, produktivitas tanaman yang rendah dan peningkatan muka air laut, serta tingginya intensitas badai.
Wilayah yang terpapar bahaya-bahaya itu menjadi wilayah ”titik panas” dampak perubahan iklim.
Pada kondisi terparah, penduduknya mungkin untuk bermigrasi. Mereka yang melakukan migrasi karena kerentanan itu disebut sebagai migran iklim.
Berbagai Wilayah
Melihat dampak perubahan iklim yang berbeda antarwilayah, maka pemicu migrasi juga berbeda-beda.
Misalnya, di wilayah Sub-Sahara Afrika, migrasi didorong oleh kondisi lingkungan berupa lahan kering dan pesisir yang rentan terhadap perubahan iklim.
Sebagian besar masyarakat bergantung pada pertanian yang mengandalkan hujan.
Jika aktivitas ini terganggu, penghidupan masyarakat terancam dan pada akhirnya memilih tempat lain untuk tinggal.
Di Meksiko dan Amerika Tengah, seperti Guatemala, penduduk bermigrasi karena kekeringan dan badai yang disebabkan fenomena El Nino lebih sering terjadi.
Akibatnya, panen gagal.
Menurut permodelan The New York Times Magazine dan ProPublica, migrasi meningkat setiap tahun di luar faktor kondisi iklim.
Namun, jumlahnya akan meningkat signifikan seiring dengan semakin parahnya dampak perubahan iklim.
Dalam kondisi adanya aksi nyata kebijakan perubahan iklim, sekitar 680.000 migran dari Amerika Tengah dan Meksiko akan berpindah ke Amerika Serikat dari sekarang hingga 2050.
Jika pemanasan bumi terjadi lebih ekstrem, jumlahnya melonjak menjadi lebih dari 1 juta orang.
Di Indonesia, fenomena ini juga terjadi.
Hanya saja, belum banyak studi tentang migrasi perubahan iklim ini.
Namun, sejumlah kasus menjadi gambaran bagaimana perubahan iklim menjadi beban masyarakat sehingga harus bermigrasi.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam penelitiannya di Delta Mahakam, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menemukan migrasi penduduk dari Dusun Sungai Perangat ke Desa Sei Meriam yang disebabkan oleh naiknya muka air laut.
Sebagian besar penduduk kehilangan rumah dan tambak udang yang menjadi sumber penghidupannya.
Bentuk migrasi lainnya ditemukan di Kabupaten Lombok Utara dan Lombok Timur.
Daerah itu menjadi salah satu kantong pekerja migran terbesar di Indonesia.
Namun, penelitian LIPI menemukan adanya indikasi migrasi tenaga kerja Indonesia yang dipengaruhi oleh dampak perubahan iklim.
Hal ini terjadi karena pergeseran musim yang menyebabkan hasil panen menurun sehingga perekonomian masyarakat ikut menurun.
Alhasil, pilihannya adalah merantau ke negeri tetangga demi mendapatkan mata pencarian baru.
Di Indonesia, fenomena migrasi karena perubahan iklim tergambar jelas pada pekerja di sektor pertanian yang menjadi sumber penghidupan masyarakat perdesaan.
Jika kondisi ini terjadi terus-menerus, bisa jadi terjadi urbanisasi yang tidak terkendali karena adanya harapan mencari kehidupan layak di perkotaan.
Selain migrasi, perpindahan penduduk yang dipicu oleh perubahan iklim berkaitan juga dengan bencana alam yang dialami.
Perpindahan atau disaster displacement di masa depan dipicu oleh beberapa hal, yaitu eksposur bencana, kerentanan masyarakat, dan bahaya (hazard) karena perubahan iklim.
Berdasarkan data Internal Displacement Monitoring Centre, sekitar 87,27 persen perpindahan penduduk dalam kurun waktu 2008 sampai 2018 berkaitan dengan cuaca atau iklim.
Respons Dunia
PBB dalam Resolusi 73/195 telah mendorong negara-negara untuk melakukan pemetaan, mengembangkan adaptasi dan strategi bagi pengungsi iklim dengan pendekatan hak asasi manusia (HAM).
Dengan ini, dampak perubahan iklim dan bencana yang menyertainya diakui sebagai salah satu penyebab migrasi yang perlu untuk ditanggapi.
Dewan HAM PBB juga merespons fenomena itu dengan mengeluarkan dokumen tentang migrasi karena perubahan iklim dalam perspektif HAM.
Salah satunya ialah mencegah perpindahan penduduk besar-besaran melalui penyediaan lingkungan hidup yang melindungi HAM.
Sebanyak 164 negara telah menandatangani Perjanjian Migrasi 2018 yang mencantumkan upaya mengurangi perpindahan penduduk karena perubahan iklim.
Namun, tidak ada jaminan bahwa perjanjian itu benar-benar diterapkan.
Tanpa perencanaan yang matang, migrasi ini dapat memicu krisis global.
Para migran bisa menjadi telantar karena tidak mendapatkan akses untuk masuk ke negara-negara yang dituju.
Lebih dari itu, permasalahan kemiskinan, ketimpangan, kesehatan, dan sosial di negara- negara tujuan migran menanti.
Akan lebih baik jika dilakukan upaya preventif untuk mencegah peningkatan migrasi perubahan iklim.
Setiap aksi nyata menekan perubahan iklim sangat berdampak pada proses migrasi perubahan iklim.
Setiap upaya menahan pemanasan global sama dengan upaya menjaga ”rumah” jutaan jiwa. [dhn]
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Makin Banyak Migrasi Penduduk akibat Perubahan Iklim”. Klik untuk baca: Makin Banyak Migrasi Penduduk akibat Perubahan Iklim - Kompas.id.