WAHANANEWS.CO, Jakarta - Hampir setengah perusahaan besar Amerika Serikat (AS) kini memilih memindahkan investasi yang sebelumnya ditujukan untuk China ke negara lain, menciptakan pergeseran historis dalam peta global rantai pasok yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam laporan American Chamber of Commerce (AmCham) Shanghai, sebanyak 47 persen responden menyatakan telah mengalihkan rencana investasinya dari China, terutama menuju Asia Tenggara.
Baca Juga:
Rem Sosial dan Kearifan Lokal: Strategi Jambi Menjaga Iklim Investasi di Tengah Ancaman Aksi Anarkis
Pergeseran ini tercatat sebagai yang tertinggi sejak pertanyaan serupa pertama kali muncul dalam survei pada 2017.
“Untuk sebuah perusahaan, 90 hari itu terlalu singkat. Rantai pasok membutuhkan perencanaan jangka panjang,” ujar Presiden AmCham Shanghai Eric Zheng pada Kamis (10/9/2025).
Ia menegaskan bahwa meskipun ada perpanjangan gencatan dagang 90 hari antara Washington dan Beijing, ketidakpastian tetap membayangi.
Baca Juga:
Sri Mulyani Optimis Sinergi Pemerintah-DPR Wujudkan APBN 2026 yang Kredibel dan Berkelanjutan
Selain Asia Tenggara, kawasan Asia Selatan seperti India dan Bangladesh menjadi tujuan populer berikutnya, sementara AS dan Meksiko menempati urutan ketiga.
Presiden AS Donald Trump berulang kali mendorong agar perusahaan membawa kembali produksi ke dalam negeri, namun menurut laporan CNBC, sejumlah perusahaan teknologi justru memperluas investasi ke luar termasuk ke India.
AmCham Shanghai mencatat anggotanya meliputi perusahaan besar seperti Apple, Ford, Honeywell, Meta, dan Tesla.
Ketua AmCham Jeffrey Lehman menekankan bahwa anggotanya tidak hanya terdampak tarif impor AS terhadap China, tetapi juga bea masuk balasan dari Beijing.
Menurut Peterson Institute for International Economics, tarif AS terhadap barang asal China mencapai hampir 58 persen, sementara bea masuk China berada di kisaran 33 persen.
Akibat kondisi tersebut, 65 persen responden mengaku merasakan dampak signifikan, khususnya di sektor manufaktur.
Persaingan di pasar domestik China juga makin ketat dengan hanya 28 persen perusahaan yang melaporkan margin operasi di China lebih baik dibandingkan bisnis global mereka pada 2024, sementara 33 persen menyebut kinerja di China justru lebih buruk.
Laporan AmCham mengungkap perusahaan China lebih maju dalam enam dari delapan kategori persaingan, terutama dalam kecepatan masuk pasar dan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI).
Sebanyak 41 persen responden menilai perusahaan China lebih unggul dalam adopsi AI, bahkan di sektor ritel dan konsumsi angkanya melonjak menjadi 62 persen.
“Kami melihat AI sebagai area lain untuk bersaing di China, tetapi kami harus menemukan cara. Di satu sisi kami harus patuh pada aturan ekspor AS, namun di sisi lain peluang di sini tetap ada,” kata Zheng.
Meski tertekan perang dagang, survei juga menunjukkan adanya perbaikan iklim usaha di China.
Hampir separuh atau 48 persen responden menilai regulasi sudah cukup transparan, naik dari 35 persen pada 2024.
Persentase perusahaan yang merasa terhambat karena kurangnya transparansi turun 12 poin menjadi 16 persen.
Selain itu, jumlah responden yang menilai perusahaan asing dan lokal diperlakukan setara meningkat menjadi 37 persen.
Beijing dalam beberapa tahun terakhir memang gencar meluncurkan kebijakan ramah investor, termasuk mempermudah investasi di sektor bioteknologi.
Namun, tantangan besar masih ada dengan 14 persen responden menyebut kondisi usaha bagi perusahaan asing justru memburuk, di mana sektor teknologi menghadapi kesulitan paling tinggi yakni 31 persen.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]