WAHANANEWS.CO, Jakarta - Serangan terhadap misi kemanusiaan kembali terjadi di tengah krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di Jalur Gaza.
Tindakan agresif ini menyoroti eskalasi pelanggaran terhadap hukum internasional, khususnya terhadap upaya nonmiliter yang ditujukan untuk menyelamatkan warga sipil dari bencana kemanusiaan akibat blokade yang berkepanjangan.
Baca Juga:
Rudal Baru Rusia Oreshnik: Jadi Sorotan Dunia Tidak Dapat Dilacak, Dicegat atau Dihancurkan
Di tengah pembiaran komunitas internasional, kapal sipil pun kini menjadi sasaran.
Sebuah pesawat nirawak milik Israel menyerang kapal bantuan kemanusiaan yang sedang berlayar di perairan internasional dekat Malta pada Jumat (2/5/2025).
Kapal tersebut merupakan bagian dari misi kemanusiaan yang diselenggarakan oleh Freedom Flotilla Coalition (FFC), sebuah koalisi aktivis damai yang berkomitmen untuk menghentikan pengepungan terhadap Gaza.
Baca Juga:
Sederet Negara dengan Bahasa Tersulit di Dunia
Menurut pernyataan resmi dari FFC, serangan itu tampaknya secara sengaja diarahkan ke generator utama kapal, yang kemudian memicu kebakaran hebat serta menyebabkan kerusakan serius pada lambung kapal.
Kerusakan tersebut menempatkan kapal dalam kondisi kritis dan terancam tenggelam.
Koalisi FFC mengungkapkan bahwa sejumlah awak kapal belum dapat dihubungi dan informasi mengenai mereka sengaja tidak dipublikasikan sebelumnya guna mencegah kemungkinan sabotase.
Kapal tersebut mengangkut 30 orang dari 21 negara berbeda, termasuk sejumlah tokoh penting yang dikenal dalam advokasi kemanusiaan.
Sesaat setelah terkena serangan, kapal segera mengirimkan sinyal darurat SOS.
Pemerintah Siprus Selatan merespons dengan mengirimkan satu kapal bantuan. Namun, menurut FFC, kapal yang dikerahkan tidak memberikan dukungan listrik vital yang sangat dibutuhkan oleh kapal yang terdampak.
"Akibat serangan itu, pasokan listrik di kapal terputus dan semua komunikasi dari dalam kapal pun hilang," ujar perwakilan dari FFC dalam pernyataan lanjutan.
Sementara itu, Pemerintah Malta mengonfirmasi bahwa sebuah kapal tunda telah dikirimkan ke lokasi untuk memberikan pertolongan dan menyatakan bahwa seluruh penumpang di kapal tersebut berada dalam kondisi selamat.
FFC dengan tegas menyerukan agar Duta Besar Israel dipanggil dan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang mereka sebut sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional, termasuk blokade yang terus berlangsung dan serangan terhadap kapal sipil di wilayah laut internasional.
Serangan ini terjadi tepat dua bulan setelah Israel menghentikan seluruh pasokan bantuan kemanusiaan dan barang komersial masuk ke Gaza. Dampaknya sangat mengerikan.
Munir al-Bursh, Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, menyatakan bahwa blokade tersebut-- yang kini disebut sebagai yang paling ekstrem sejak pecahnya perang 18 bulan lalu -- telah memaksa sekitar 91% dari populasi Gaza, sekitar dua juta jiwa, jatuh ke dalam krisis kelaparan akut.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan bahwa pada bulan April lalu, jumlah anak-anak yang dirawat karena kekurangan gizi melonjak hingga 80% dibandingkan bulan sebelumnya.
Menurut data mereka, 92% anak-anak berusia enam bulan hingga dua tahun, serta ibu mereka, tidak lagi menerima asupan gizi minimum yang diperlukan.
Selain itu, 65% dari penduduk Gaza tidak lagi memiliki akses ke air bersih.
Tragisnya, sedikitnya 50 anak Palestina telah meninggal dunia akibat kekurangan gizi sejak perang dimulai pada Oktober 2023, menurut laporan dari kantor media pemerintah Gaza.
Secara keseluruhan, lebih dari 52.000 warga Palestina telah dibunuh oleh pasukan Israel selama serangan di Gaza, termasuk lebih dari 15.000 anak-anak.
Lebih dari 118.000 orang lainnya mengalami luka-luka, dan sekitar 10.000 warga lainnya masih dinyatakan hilang.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]