WahanaNews.co | Jumlah jurnalis yang terbunuh pada 2022 hingga 1 Desember lebih tinggi 20 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, kata organisasi jurnalis Reporters Without Borders (RSF) dalam laporan tahunan terbarunya.
"Perang Rusia melawan Ukraina memainkan peran utama dalam peningkatan fatalitas tersebut", kata peneliti RSF Christopher Resch kepada DW.
Baca Juga:
Hari Jadi ke-73: Humas Polri Gelar Donor Darah Bareng Wartawan
Delapan jurnalis telah terbunuh di sana sejak perang dimulai, menjadikan negara itu yang paling berbahaya kedua di dunia bagi para profesional media, dan mendorong jumlah jurnalis yang terbunuh saat bertugas menjadi 57 orang (dibandingkan dengan 48 orang pada 2021).
Meksiko memimpin daftar teratas: Sebelas jurnalis terbunuh di sana tahun ini naik 4 orang dari dari tahun 2021, dan menempatkan negara itu di puncak daftar negara paling berbahaya selama empat tahun berturut-turut.
Dalam kebanyakan kasus, kematian itu terkait dengan investigasi perdagangan narkoba dan kejahatan terorganisir.
Baca Juga:
Berhadiah Total Rp480 Juta, Waktu Pendaftaran PLN Journalist Award 2024 Masih Dua Pekan Lagi
Menurut RSF, Wartawan investigatif menjalankan risiko profesi terbesar bagi hidup mereka ketika ada hubungan antara kejahatan terorganisir, politik dan korupsi.
"Di Meksiko, anggota media lokal berada dalam bahaya paling besar. Ini berbeda dengan pelaporan perang, di mana profesional media diterbangkan ke medan perang untuk melaporkan situasi di lapangan", kata Christopher Resch.
Bersama dengan organisasi mitra di Meksiko, Reporters Without Borders telah berkampanye selama bertahun-tahun untuk perlindungan yang lebih baik bagi para profesional media, yang seringkali mempertaruhkan nyawa mereka.
"Namun terlepas dari beberapa tindakan pemerintah, nyaris tidak ada perubahan yang terjadi," kata peneliti RSF itu. Pada Januari saja, tiga jurnalis laki-laki dan satu jurnalis perempuan dibunuh di Meksiko.
2022 ada 533 wartawan dipenjara
Tujuh jurnalis perempuan terbunuh tahun ini, yang merupakan lebih dari 12 persen dari semua korban. Lima belas persen jurnalis yang di penjara adalah perempuan: 78 dari total 533 orang – lebih banyak dari tahun sebelumnya.
Jumlah jurnalis perempuan di balik jeruji besi telah meningkat sebesar 28 persen pada 2021. Sekitar seperempat dari mereka masing-masing berada di penjara di China dan Iran.
Peneliti RSF Christopher Resch juga menyorot pada represi yang ditargetkan terhadap perempuan di Iran dan Belarusia. "Ini sengaja digunakan untuk menyebarkan lebih banyak teror dan ketakutan," katanya.
Untuk memperbaiki situasi bagi semua profesional dalam jurnalisme, termasuk operator kamera dan produser, RSF mendorong kepatuhan terhadap standar yang disepakati secara internasional di seluruh dunia.
"Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyediakan kerangka kerja untuk perlindungan", papar Christopher Resch.
Prospek suram untuk situasi jurnalis
Namun RSF menekankan, jurnalis berisiko tidak hanya ada dalam kediktatoran dan rezim otoriter, tetapi juga di negara-negara demokratis.
Julian Assange, pendiri platform WikiLeaks, masih ditahan di penjara keamanan tinggi di Inggris.
AS selama bertahun-tahun telah menuntut ekstradisinya dan mengancam Assange dengan hukuman seumur hidup atas serangkaian tuntutan pidana terkait bocornya dokumen rahasia militer AS dalam perang di Afghanistan dan Irak.
Julian Assange menolak semua tuduhan terhadapnya.
Christopher Resch yakin bahwa tekanan publik bisa berdampak.
"Kami mendengar itu berulang kali dari wartawan yang telah dibebaskan," katanya. Namun kesimpulannya secara keseluruhan lebih pesimistik: "Saya pikir semuanya terlihat relatif suram. Tapi kita tidak boleh putus asa." [rna]