WahanaNews.co | Bandar Schiphol, Amsterdam, masih kalang kabut akibat kekurangan tenaga kerja di bandara yang terjadi sejak akhir September lalu.
Salah satu bandara tersibuk Eropa pun kerepotan mengatasi kekacauan selama beberapa waktu ke belakang.
Baca Juga:
IWGFF Dorong Kolaborasi Masyarakat Sipil dalam Melawan Kejahatan Keuangan Hijau
Minimnya tenaga kerja terus memicu kekacauan yang belum pernah terjadi sebelumnya di bandara.
Kekacauan itu mendorong banyak pelancong bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi di bandara tersebut.
Bandara Schiphol diketahui telah membatasi kapasitas penerbangan. Kondisi ini memicu kemarahan sejumlah maskapai, terutama KLM.
Baca Juga:
Kementan Dorong Optimasi Ratusan Hektar Lahan Baru di Sumsel
KLM menyebut situasi ini sebagai 'situasi tanpa harapan dan tidak memiliki perspektif apa pun'.
Kekacauan tersebut, diklaim KLM, merusak reputasinya dan menimbulkan kerugian lebih dari 100 juta euro atau sekitar Rp1,4 triliun.
Mengutip CNN, selama musim panas, beberapa maskapai, termasuk Malta Air, TUI, dan Transavia, memilih untuk mengalihkan penerbangan dari Bandara Schiphol ke bandara lainnya.
Banyak pihak yang menyalahkan manajemen. Pada 15 September lalu, Dick Benschop, Presiden dan CEO Royal Schiphol Group, mengundurkan diri.
Benschop mengakui situasi kacau yang terjadi di bandaranya. Ia juga mengakui masalah operasional yang tengah dihadapi.
Masalah itu terjadi karena minimnya tenaga kerja.
"Masalah tenaga kerja tidak akan hilang dalam semalam. Itulah yang kami hadapi saat itu. Dan untuk semua orang yang terlibat, ini adalah kerja keras yang luar biasa. Saya tau, ini sangat membuat frustasi dan menyakitkan. Tapi kita akan melewatinya," ujar Benschop.
Dia mengatakan bahwa manajemen berkomitmen untuk memperbaiki masalah dengan memberikan pengalaman penumpang yang lebih baik dan meningkatkan kondisi kerja dan gaji pekerja.
Selain itu, mereka juga berupaya untuk bekerja dengan maskapai penerbangan untuk membangun kembali kapasitas penerbangannya.
Meski begitu, Benschop juga mengatakan bahwa kondisi kekacauan di Bandara Schiphol tersebut belum dapat berakhir selama liburan sekolah musim gugur di Belanda.
Namun demikian, kekacauan pada Bandara Schiphol akhirnya bisa mereda berkat bonus 5,25 euro per jam untuk para pekerja keamanan.
Namun, bonus tersebut tak berlaku untuk petugas kebersihan bandara, yang akhirnya memutuskan untuk mogok kerja pada Juni lalu.
Pemimpin kampanye serikat pekerja Schiphol Josst van Doesburg mengatakan bahwa yang dibutuhkan para pekerja adalah jadwal kerja yang adil, lebih sedikit outsourcing untuk operasional bandara, dan upah yang lebih baik.
"Buruknya sistem kerja membuat banyak pekerja yang pada akhirnya memilih untuk pergi dari bandara dan mencari peruntungan yang lain," ujar Doesburg.
Saking kacaunya, banyak penumpang yang mengamuk dan melampiaskan rasa frustasi mereka ke media sosial dan mendokumentasikan situasi di bandara dengan tagar #SchipholChaos.
Dalam sebuah rilis yang disebarkan pada Jumat (30/9) silam, pihak Bandara Schiphol mengatakan mereka telah secara aktif bekerja untuk meningkatkan kondisi kerja, termasuk upah yang lebih baik, jadwal pekerja yang lebih konsisten, dan merekrut lebih banyak staf.
Bandara Schiphol juga berencana memberikan kompensasi untuk penumpang penerbangan yang terlewat dan biaya lainnya yang disebabkan oleh antrean panjang. [rin]