WahanaNews.co | Saat berusia belasan tahun, seorang warga Muslim Arab yang hidup di tengah lautan orang Yahudi, Ella Wayeya, mengalami krisis identitas.
Dia selalu bingung ketika ditanya asal-usul dan tak ada yang bisa memberinya pencerahan.
Baca Juga:
Netanyahu Tawarkan Rp79 Miliar untuk Bebaskan Satu Sandera di Gaza
Dia tak bisa seenaknya menjawab "saya adalah keturunan Arab beragama Islam yang juga warga negara Israel."
Sebab, keluarganya memiliki perasaan emosional kuat saat Palestina menerima perlakuan keras dari Israel yang kemudian terpatri dalam benak Ella.
Tapi, di sisi lain dia juga harus menerima fakta bahwa perlakuan itu dilakukan oleh negara tempatnya tumbuh dan berkembang, yakni Israel. Seandainya benar menjawab seperti itu, besar kemungkinan dia akan dicemooh, baik dari lingkungan dan keluarganya.
Baca Juga:
KTT Liga Arab dan OKI Sepakati Tekanan Global: Cabut Keanggotaan Israel dari PBB Segera!
Hingga akhirnya, kejelasan mengenai identitas itu muncul saat berusia 16 tahun. Pemerintah secara resmi lewat Kartu Tanda Penduduk menetapkan bahwa Ella Wayeya memiliki kewarganegaraan Israel. Dari sinilah, dia mantap mengabdi pada negara.
Meski begitu, tidak mudah bagi Ella, yang super minoritas (keturunan Arab, Islam, dan perempuan) untuk melawan norma-norma lingkungan dan pandangan keluarga.
Apalagi, jalur pengabdian yang dipilihnya benar-benar anti-mainstream: bergabung menjadi tentara Israel (Israel Defence Forces, IDF), yang selalu jadi sorotan negatif banyak orang.
"Selama 18 bulan pertama, saya merahasiakan [Kepada keluarga] bahwa saya bergabung dengan tentara. Hingga akhirnya rahasia ini terbongkar oleh ibu saya yang menemukan seragam IDF di kamar. Dia langsung menangis" ujar Ella yang masuk tentara pada 2013, kepada Jewish News Syndicate.
Praktis, terbongkarnya keanggotaan di IDF membuat Ella mendapat sentimen dan cemoohan luar biasa dari lingkungan. Namun, itu semua tak menggoyahkan pilihannya.
"Saya sudah terlanjur senang dan cinta kepada bendera Israel," katanya kepada Al Majalla.
Kini, Ella dipandang sebagai prajurit berprestasi. Dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun dia sudah menyandang pangkat Kapten dan menjadikannya sebagai perempuan Muslim-Arab pertama yang mampu meraih gelar tersebut.
Kisah Ella sebetulnya hanya satu dari ribuan Muslim lain yang bergabung menjadi tentara Israel.
Dua sampai tiga dekade lalu rasanya hampir tidak mungkin bagi orang Arab-Israel memilih militer sebagai jalan berkarir. Namun sekarang inilah fakta yang mungkin membuat orang terkejut dan tidak bisa diterima setiap orang: mereka yang mayoritas Muslim justru berbondong-bondong mendaftar tentara Israel.
Sebagaimana dipaparkan The Jerussalem Post, data resmi pada 2020 yang dihimpun IDF mencatat bahwa ada 606 orang dari Arab-Muslim yang bergabung. Angka ini mengalami kenaikan dari tahun 2019 sebesar 489 orang dan tahun 2018 sejumlah 436 orang.
Dalam laporan khusus Al Majalla berjudul "Exclusive: IDF - 'Our Mission is to Enlist as Many Israeli Arabs as we can'" (2022), diketahui IDF berhasil merekrut 130-350 suku Badui yang mayoritas Muslim dan 40-100 tentara dari berbagai desa dan kota berpenduduk mayoritas Muslim, untuk menjadi tentara.
Di sektor kepolisian juga tercatat hal sama, yakni 20% dari pendaftar pada tahun 2021 adalah orang Muslim.
Bahkan, BBC pada 2016 pernah menuliskan peningkatan jumlah tentara dari komunitas Arab-Israel membuat IDF membentuk tim bernama Gadsar.
Gadsar beranggotakan sekitar 500 prajurit keturunan Arab, baik beragama Islam atau Kristen. Mereka bertugas di kawasan Tepi Barat, salah satu titik panas konflik Israel-Palestina.
Pemerintah Israel sebetulnya tidak mewajibkan komunitas Arab-Israel dan Badui ikut wajib militer. Namun, pemerintah juga tidak menutup pintu bagi mereka apabila ingin bergabung angkat senjata. Karena inilah mereka bisa dikatakan secara sukarela dan tanpa paksaan bergabung menjadi anggota IDF.
Kenyataan ini memang kontradiktif dengan garis perjuangan yang dilakukan mayoritas Muslim dan negara Arab untuk mendukung kedaulatan Palestina. Artinya, dengan bergabung menjadi tentara Israel secara tidak langsung mereka juga mematahkan perjuangan Palestina. Atau mereka juga secara tidak langsung menjadi 'mesin pembunuh' penduduk Palestina.
Atas dasar inilah, keputusan menjadi tentara kerap dihujani kritikan dari rekan satu komunitas.
Meski begitu, keputusan menjadi tentara Israel juga tak bisa disalahkan karena bagi mereka inilah jalan terbaik untuk mencapai kesejahteraan. Sebab, selama hidup di Israel mereka kerap mengalami ketidaksetaraan ekonomi yang berujung pada tingginya kemiskinan dan pengangguran.
Riset terbaru oleh Ensherah Khory dan Michal Krumer-Nevo berjudul "Poverty in Arab-Palestinian society in Israel: Social work perspectives before and during COVID-19" (2023) menyebut 45,3% keluarga dan 57,8% anak-anak dari komunitas Arab-Palestina (nama lain Arab-Israel) berada di bawah garis kemiskinan.
Beranjak dari situasi sulit seperti, maka logis apabila mereka mencari pekerjaan terbaik, dan tentara adalah salah satu pilihannya.
Apalagi, pemerintah Israel juga secara serius merekrut tentara dengan menjanjikan beragam kemudahan, dari mulai kesetaraan hingga kesejahteraan.
Kenyataan ini memang kontradiktif dengan garis perjuangan yang dilakukan mayoritas Muslim dan negara Arab untuk mendukung kedaulatan Palestina. Artinya, dengan bergabung menjadi tentara Israel secara tidak langsung mereka juga mematahkan perjuangan Palestina. Atau mereka juga secara tidak langsung menjadi 'mesin pembunuh' penduduk Palestina.
Atas dasar inilah, keputusan menjadi tentara kerap dihujani kritikan dari rekan satu komunitas.
Meski begitu, keputusan menjadi tentara Israel juga tak bisa disalahkan karena bagi mereka inilah jalan terbaik untuk mencapai kesejahteraan. Sebab, selama hidup di Israel mereka kerap mengalami ketidaksetaraan ekonomi yang berujung pada tingginya kemiskinan dan pengangguran.
Riset terbaru oleh Ensherah Khory dan Michal Krumer-Nevo berjudul "Poverty in Arab-Palestinian society in Israel: Social work perspectives before and during COVID-19" (2023) menyebut 45,3% keluarga dan 57,8% anak-anak dari komunitas Arab-Palestina (nama lain Arab-Israel) berada di bawah garis kemiskinan.
Beranjak dari situasi sulit seperti, maka logis apabila mereka mencari pekerjaan terbaik, dan tentara adalah salah satu pilihannya. Apalagi, pemerintah Israel juga secara serius merekrut tentara dengan menjanjikan beragam kemudahan, dari mulai kesetaraan hingga kesejahteraan.[eta/CNBC]