WahanaNews.co | Indonesia dan Malaysia berbeda sikap ketika menanggapi kehadiran kapal China di sekitar wilayah kedaulatan di Laut China Selatan (LCS) dalam beberapa waktu belakangan.
Malaysia mengklaim kapal China "masuk" zona ekonomi eksklusif mereka, sementara Indonesia menganggap armada riset Beijing hanya "melintas" di perairan internasional di Laut Natuna Utara.
Baca Juga:
Inovasi Crowdsourcing Maritim di Tengah Konflik Natuna
Malaysia pun memanggil Duta Besar China di Kuala Lumpur, Ouyang Yujing, untuk menyampaikan protes setelah kapal Tiongkok memasuki zona ekonomi eksklusif (ZEE) Negeri Jiran.
"[Malaysia memanggil Ouyang] untuk menyampaikan posisi Malaysia dan protes terhadap kehadiran dan aktivitas kapal-kapal China, termasuk kapal survei, di zona ekonomi eksklusif Malaysia," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Malaysia, seperti dikutip AFP, Senin (4/10/2021).
Kemlu Malaysia menyatakan bahwa China melanggar hukum lokal dan internasional dengan penerobosan kapal di Sabah dan Sarawak tersebut.
Baca Juga:
Peran Penting Indonesia dalam Menangani Konflik Laut China Selatan (LCS)
Mereka tak menjabarkan lebih lanjut kasus penerobosan yang dimaksud.
Namun, Malaysia memang sudah berulang kali menyatakan protes atas kehadiran kapal-kapal China di kawasan sengketa di Laut China Selatan.
Ini merupakan protes resmi kedua Malaysia terhadap China pada 2021.
Pada Juni lalu, Kemlu Malaysia juga memanggil Ouyang untuk menyampaikan protes karena 16 jet tempur China melintas di kawasan sengketa LCS.
China dan Malaysia terlibat dalam sengketa klaim wilayah di LCS.
Malaysia terus menegaskan bahwa berdasarkan Konvensi PBB soal Hukum Laut (UNCLOS), wilayah negaranya seharusnya mencakup 200 mil dari pesisir terluar, termasuk di LCS.
Dengan demikian, ZEE Malaysia juga mencakup sebagian kawasan Spratley, kepulauan yang dibuat oleh China di LCS.
Namun, China menegaskan bahwa wilayah itu masuk dalam kedaulatannya berdasarkan hak historis mereka.
Di waktu bersamaan dengan kehadiran armada Negeri Tirai Bambu di ZEE Malaysia itu, kapal riset China, Hai Yang Di Zhi 10, juga terdeteksi berada di Laut Natuna Utara.
Dari pola pergerakannya, kapal itu diduga tengah melakukan riset.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan bahwa kehadiran kapal China itu sudah sesuai dengan UNCLOS.
"Kalau di laut lepas boleh melintas berdasarkan UNCLOS," ujar Faizasyah, melalui pesan singkat kepada wartawan.
Namun, Faizasyah belum menjawab pertanyaan mengenai izin bagi kapal China tersebut untuk melakukan riset di Natuna.
Peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Imam Prakoso, mengatakan bahwa TNI Angkatan Laut sudah mengerahkan KRI Bontang untuk melakukan bayang-bayang terhadap kapal riset China tersebut pada 15 dan 16 September.
Menurutnya, TNI seharusnya mengirimkan kapal fregat atau corvette yang lebih khusus untuk patroli.
Namun, Kepala Dinas Penerangan Koarmada I, Laode Muhammad, menyatakan bahwa tak ada regulasi yang mengatur pengawasan harus dilakukan kapal fregat atau corvette.
"Terhadap jenis kapal riset China yang dimaksud, tidak ada protap yang menyebutkan harus di-intercept atau dibayang-bayangi oleh frigate atau corvette, akan tetapi kapal perang (warship) atau KRI, apa pun jenisnya. Hal ini tertuang dalam dalam article 29 UNCLOS 82," tutur Laode kepada wartawan, Senin (4/10/2021).
Kendati demikian, Laode menegaskan bahwa pengawasan terhadap kapal asing yang berada di Laut Natuna Utara tetap mesti dilakukan.
"Bagian dari protap atau SOP dalam upaya penegakkan kedaulatan dan menjaga keamanan di laut," ucap Laode.
Di sisi lain, Laode menuturkan bahwa perlu pembuktian lebih lanjut untuk menentukan kapal China itu memang dikerahkan guna melakukan riset atau bukan.
"Artinya bisa dibuktikan kalau dia riset kalau kita ke sana. Namun, dalam hal hubungan antar negara kita juga mengedepankan hindari konflik dan menahan diri. Kalau paksa naik ke kapal, tidak teirma, itu akan berdampak luar biasa," ujar Laode.
Laode menyebut bahwa kapal riset tersebut sudah teridentifikasi sebagai milik pemerintah China, sehingga yang bisa dilakukan TNI AL adalah dengan melakukan pengawasan.
"Tapi itu kapal pemerintah, yang bisa dilakukan membayangi-bayangi, buat laporan ke atas untuk membahasakan ke pihak China soal apa yang mereka lakukan," kata Laode.
Hingga saat ini, belum diketahui pasti aktivitas kapal riset China itu di Laut Natuna Utara.
Belum diketahui pula Kementerian Luar Negeri berencana memanggil duta besar China atau tidak untuk mencari klarifikasi lebih lanjut.[qnt]