Oleh AGUSTINUS WIBOWO
Baca Juga:
Dalang Penembakan Massal di Moskow Diduga ISIS Cabang Afghanistan
"DI sini semua mahal.
Yang murah hanya satu: nyawa manusia."
Begitu seorang warga Afghanistan pernah berkata kepada
saya tentang situasi negaranya.
Baca Juga:
Bio Farma Hibahkan 10 Juta Dosis Vaksin Polio untuk Afghanistan
Sebagai jurnalis yang pernah bekerja di Afghanistan
dari 2007 hingga 2009, saya pernah mengalaminya sendiri.
Di Kabul, bom meledak setidaknya sekali dalam dua
hari.
Orang-orang pun senantiasa dicekam teror berupa hujan
roket, perampokan, penculikan, dan pembunuhan.
Kenangan itu seperti diputar kembali.
Jatuhnya Kabul ke tangan Taliban, 15 Agustus 2021,
peristiwa mengejutkan sekaligus menakutkan bagi banyak orang Afghanistan.
Ribuan orang, termasuk perempuan dan anak-anak,
berbondong menuju bandara Kabul, satu-satunya jalur tersisa untuk melarikan
diri.
Isak tangis dan teriakan bertalu-talu dari lautan
manusia.
Mayat bergelimpangan di bandara, mungkin
terinjak-injak atau tertembak tentara.
Para lelaki berusaha bergelantungan pada badan pesawat
militer AS yang hendak lepas landas.
Beberapa dari mereka terjatuh dari pesawat yang
mengangkasa.
Begitu takut dan putus asanya mereka, hingga nekat
melakukan apa pun.
Apa pun.
Beberapa kawan jurnalis di Kabul dan Mazar-i-Sharif
mengatakan, mereka beberapa hari ini belum berani ke luar sama sekali.
Mereka khawatir anggota Taliban akan melakukan
pemeriksaan dari rumah ke rumah, membunuhi siapa pun yang dianggap musuh.
Apakah kemenangan Taliban bisa dianggap kemenangan
rakyat Afghanistan mengusir penjajah AS?
Atau kemenangan perjuangan Islam menumbangkan rezim
liberal sekuler?
Realitasnya tak sesederhana itu.
Dalam sejarahnya, AS justru pernah berada di belakang
kelompok militan Islam.
Peran AS
Konflik Afghanistan hari ini tak terlepas dari sejarah
Perang Dingin, ketika dunia terbelah menjadi dua ideologi besar yang saling
bermusuhan.
Pada 1978, Afghanistan menjadi negara komunis, dan
partai yang berkuasa "mengundang" militer Uni Soviet masuk pada 1979.
AS tak ingin Afghanistan jadi satelit Soviet yang baru
sehingga melancarkan strategi untuk mencetak pejuang religius yang rela
bertempur melawan Soviet.
AS mengalirkan dana dan persenjataan ke negara
tetangga Pakistan, dan menjamurlah madrasah di Pakistan yang melahirkan banyak
jihadis militan.
Kaum mujahidin yang didukung AS ini akhirnya memang
berhasil.
Tahun 1989, pasukan Soviet mundur dari Afghanistan.
Dua tahun setelah itu, Soviet bubar.
Tak punya lagi musuh besar, AS meninggalkan
Afghanistan begitu saja.
Yang terjadi di Afghanistan setelah itu adalah
kekacauan.
Faksi-faksi mujahidin saling bertempur memperebutkan
supremasi kekuasaan.
Afghanistan terpecah belah menjadi banyak daerah kecil
yang dikuasai para raja perang sehingga tak ada hukum yang bisa diandalkan.
Kehancuran merata di berbagai penjuru.
Di tengah kekacauan ini muncul Taliban.
Berawal dari Kandahar, Taliban menguasai Kabul tahun
1996 dan sekejap kemudian hampir seluruh Afghanistan.
Pada mulanya kehadiran Taliban disambut baik
masyarakat karena Taliban membawa keamanan dan kestabilan yang dirindukan orang
Afghanistan yang telah babak belur oleh perang saudara berkepanjangan.
Jalanan pun kembali menjadi aman dilintasi, terbebas
dari ancaman perampok dan pembunuh.
Namun, Taliban kemudian menerapkan hukum syariah
dengan penafsiran yang luar biasa ketat.
Perempuan diwajibkan memakai burkak yang menutup seluruh wajah, termasuk mata.
Perempuan tak bisa bersekolah dan bekerja, dan
dilarang ke luar rumah tanpa ditemani mahram.
Para lelaki diwajibkan memakai pakaian tradisional,
topi atau serban, juga memelihara
jenggot.
Taliban pun melarang orang menonton televisi,
mendengarkan musik, menari, bermain layang-layang, dan masih banyak lagi.
Pemerintahan Taliban dijalankan dengan kekerasan.
Mereka yang melanggar aturan dipukuli, dirajam,
diamputasi, atau dieksekusi di depan publik.
Taliban juga membantai etnik minoritas.
Di Mazar-i-Sharif dan Bamiyan pada 1998, laskar Taliban
mendatangi rumah demi rumah untuk membantai ribuan orang Hazara, termasuk
perempuan, anak-anak, dan bayi.
Gerakan perlawanan rakyat Afghan terhadap Taliban pun
terus meluas dan menguat, terutama di bagian utara negeri yang dihuni kaum
minoritas.
Konstelasi dunia berubah total pasca-9/11.
AS bersitegang dengan Taliban karena Taliban
melindungi Osama bin Laden dan gerakan Al Qaeda yang dituding bertanggung jawab
atas serangan teror ke Menara Kembar WTC di New York.
Dalam misi "Perang Melawan Teror", AS di bawah Bush
melancarkan serangan ke Afghanistan untuk menumbangkan rezim Taliban.
Dalam politik memang tak ada kawan dan musuh yang
abadi.
Siapa yang dulunya kawan bisa jadi musuh ketika
terjadi perubahan kepentingan.
AS dan gerakan Islam radikal, yang semula bergandeng
tangan melawan komunis Soviet, di abad ke-21 justru seperti musuh bebuyutan
yang abadi sejak dulu kala.
Peta Kepentingan
Semata-mata memakai kacamata identitas dalam memahami
konflik adalah menyesatkan, dan bisa jadi berbahaya.
Sebaliknya, konflik akan menjadi lebih masuk akal
apabila kita memahami kepentingan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
China termasuk negara pertama di 2021 yang menyatakan
siap "membina hubungan bersahabat" dengan rezim Taliban dan siap "menghormati
pilihan rakyat Afghanistan".
Saat ini media di China sudah tak lagi menyebut
Taliban teroris.
Ini tampaknya sulit diterima secara ideologi, tapi
sangat masuk akal dari sisi geopolitik.
Beijing berkepentingan mencegah Afghanistan menjadi
pusat pelatihan separatis Muslim Uighur di Xinjiang.
Rezim yang stabil di Kabul juga akan mendukung
investasi China di Asia Tengah dan Pakistan.
Ditambah lagi, Afghanistan kaya mineral langka yang
belum dieksploitasi.
Konflik tidak pernah, sekali lagi tidak pernah, hanya
semata-mata perkara identitas.
Saya datang pertama kali ke Afghanistan tahun 2003,
dua tahun setelah Taliban dijatuhkan oleh invasi AS.
Bisa dikatakan, itu adalah saat yang paling aman untuk
mengunjungi Afghanistan.
Saya menemukan gairah luar biasa di kalangan warga
yang antusias menyambut kedatangan orang asing.
Penuh keyakinan mereka saat itu mengatakan,
Afghanistan akan segera menjadi "normal" seperti negara lain di dunia.
Rezim "Republik Islam Afghanistan" yang mendapat
dukungan AS dan komunitas internasional berdiri pada 2004, adalah negara Islam
yang menerapkan hukum syariah.
Orang-orang dalam pemerintahan, mulai dari atas sampai
ke bawah, adalah orang Afghanistan sendiri, dan Muslim.
Ini juga rezim yang inklusif, melibatkan semua etnik,
termasuk Pashtun, Tajik, Hazara, dan Uzbek.
Banyak pula kaum perempuan yang menduduki jabatan
tinggi.
Rezim ini telah mencapai sejumlah pencapaian.
Anak perempuan yang di masa Taliban tak boleh
bersekolah kini bisa menuntut pendidikan tinggi.
Tim robotika putri Afghanistan pada 2017 bahkan meraih
medali perak di kompetisi internasional di AS.
Investasi asing terus mengalir deras dan ekonomi terus
menggeliat sehingga Kabul kini dipenuhi gedung-gedung tinggi dan modern.
Namun, ini juga bukan pemerintahan yang sempurna.
Korupsi yang cukup parah menyebabkan banyak dana
bantuan internasional tak mencapai rakyat jelata.
Dalam memberantas terorisme, militer AS juga terkadang
sembrono sehingga rakyat tak berdosa jadi korban.
Kemiskinan dan penderitaan terus berlangsung,
menyebabkan sebagian orang antipati terhadap rezim dan berbalik mendukung
Taliban atau gerakan militan lainnya.
Kaum militan selalu mengatakan target serangan mereka
tentara asing yang beroperasi di Afghanistan.
Akan tetapi, sebenarnya, korban utama serangan mereka
adalah rakyat Afghanistan sendiri.
Rakyat biasa jadi korban ledakan di jalan raya, umat
Syiah dibom ketika sedang merayakan hari raya, personel polisi diserang dan
dipenggal.
Pada tahun 2020 pun, Taliban masih melakukan
pembunuhan berencana yang menarget para jurnalis, aktivis perdamaian, pekerja
LSM, hakim, dan pejabat pemerintah.
Pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban di 2021 yang
hampir tanpa pertumpahan darah memang tampak berbeda dengan 1990-an.
Dalam wawancara dengan CNN, juru bicara Taliban mengatakan, mereka akan membentuk
pemerintahan baru yang Islami, moderat, inklusif, dan menghormati perempuan.
Hal itu membuat sejumlah pengamat meyakini ini sungguh
Taliban versi baru, Taliban 2.0, yang
sudah termoderasi dan akan membawa perubahan positif bagi Afghanistan.
Perubahan memang bukannya tak mungkin.
Namun, masih terlalu dini menyimpulkan Taliban
sungguh-sungguh akan melaksanakan janji-janjinya dan akan membawa kebaikan di
Afghanistan.
Hingga saat ini, pemerintahan Taliban belum terbentuk,
dan tak seorang pun tahu bagaimana mereka akan menjalankan pemerintahan ke
depannya.
Kondisi di Afghanistan masih sangat volatile, dan masyarakat Afghanistan masih diliputi ketidakpastian yang mencekam.
Alih-alih buru-buru menyatakan keberpihakan pada salah
satu kubu hanya berdasar identitas, saya rasa sikap paling tepat saat ini
adalah terus mencermati perkembangan situasi.
Jika memang harus berpihak, berpihaklah pada
kepentingan rakyat Afghanistan dan kemanusiaan. (Agustinus
Wibowo, Penulis
Perjalanan)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Tak Ada Hitam Putih di Afghanistan".
Klik untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/26/tak-ada-hitam-putih-di-afghanistan/.