WahanaNews.co | Juru Bicara Militer Myanmar, Zaw Mintun, mengatakan pihaknya kecewa dan menyayangkan adanya campur tangan asing mengenai tak diundangnya Junta Militer Myanmar dalam KTT Asean pada 26-28 Oktober mendatang.
"Intervensi asing juga bisa dilihat di sini. Kami tahu beberapa utusan dari sejumlah negara bertemu dengan utusan luar negeri Amerika Serikat dan menerima tekanan dari Uni Eropa," katanya kepada BBC, yang dikutip Reuters, Minggu (17/10).
Baca Juga:
Strategi Kolaborasi Ekonomi Indonesia-Australia Kembali Diperkuat untuk Lanjutkan Berbagai Komitmen Kerja Sama
Dalam pernyataan resminya, dia mengatakan, keputusan ASEAN bertentangan dengan prinsip konsensus yang sudah lama ada.
"Myanmar sangat kecewa dan sangat keberatan dengan hasil pertemuan darurat Menteri Luar Negeri (ASEAN)," terang pernyataan itu.
Lebih lanjut, dia juga mengatakan bahwa keputusan tidak diundangnya perwakilan Myanmar tanpa konsensus bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsipn ASEAN.
Baca Juga:
Dukung World Water Forum 2024, PLN Bakal Siapkan 52 Charging Station
Sebelumnya, pada Jumat (13/10) lalu, jajaran Menteri Luar Negeri ASEAN menggelar pertemuan darurat guna mendiskusikan kehadiran junta militer Myanmar dalam KTT Oktober ini.
ASEAN hanya akan mengundang perwakilan non-politik dari Myanmar ke KTT tersebut.
"Beberapa negara anggota ASEAN merekomendasikan agar ASEAN memberi ruang kepada Myanmar untuk memulihkan urusan dalam negerinya dan kembali normal," demikian pernyataan Brunei Darussalam selaku ketua.
Beberapa negara disebut menerima permintaan pemerintah bayangan Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) untuk menghadiri KTT itu.
Namun, sejauh ini belum diketahui siapa yang akan hadir dalam pertemuan itu.
Mereka juga sepakat untuk tak mengundang pemimpin junta militer Myanmar, Min Aung Hlaing. Pasalnya, junta dianggap tak memberikan kemajuan dalam menangani krisis kemanusiaan dan politik di Myanmar, sebagaimana tercantum dalam lima konsensus yang sudah disepakati di Jakarta, April lalu.
Lima konsensus itu diantaranya kekerasan di Myanmar harus segera dihentikan, harus ada dialog konstruktif mencari solusi damai, ASEAN akan memfasilitasi mediasi, ASEAN akan memberi bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre, dan akan ada utusan khusus ASEAN ke Myanmar.
Jauh sebelum ada konsensus itu, Myanmar berada dalam kekacauan usai militer menggulingkan pemerintahan yang sah pada 1 Februari lalu.
Mereka kemudian menangkap para pejabat, termasuk penasihat negara, yang juga merupakan ketua partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi.
Tak hanya para petinggi negara, junta juga menangkap siapa saja yang menentang kekuasaannya. Mereka bahkan tak segan untuk membunuh.
Perlawanan rakyat Myanmar pun muncul. Mulai dari gerakan pembangkangan sipil hingga pembentukan milisi rakyat dengan perbekalan senjata seadanya.
Kondisi Myanmar terus menjadi sorotan pihak internasional lantaran banyak korban yang berjatuhan dan kondisi negara yang dianggap tidak stabil.
Sejauh ini, menurut laporan Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), total korban tewas sejak kudeta mencapai 1.178 orang dan sebanyak 9.028 orang telah ditangkap junta. (rin)