WAHANANEWS.CO, Jakarta - Serangan besar-besaran Iran ke wilayah Israel baru-baru ini tidak hanya menjadi ujian bagi pertahanan Israel, tetapi juga mengungkap jalinan kerja sama militer yang semakin erat antara sejumlah negara Timur Tengah dan Barat.
Salah satu kejutan datang dari Arab Saudi, yang menurut laporan Israel Hayom, diam-diam ikut mencegat drone Iran di langit Irak dan Yordania.
Baca Juga:
AS Akui Mati Kutu Hadapi Rudal Hipersonik Rusia dan Drone Iran
Meski Riyadh secara resmi mengutuk serangan Israel ke Iran, sumber-sumber Teluk menyebut bahwa helikopter angkatan udara Saudi dikerahkan untuk menghadang drone Iran yang melintasi kawasan udara regional.
Aksi ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap wilayah kedaulatan Saudi, meskipun arah akhir drone tersebut mungkin menuju Israel.
Arab Saudi yang selama ini menjauh dari konflik langsung dengan Israel ternyata memposisikan diri sebagai penyeimbang regional dengan menggunakan kekuatan militernya yang sebagian besar dilengkapi oleh sistem Amerika Serikat.
Baca Juga:
Super Canggih, Rudal dan Drone Iran Lewati 2 Negara Sebelum Tiba di Israel
Kesepakatan senjata besar pada era Presiden Donald Trump menjadi fondasi kekuatan udara Saudi yang kini digunakan dalam konflik sensitif ini.
Meskipun tidak ada pengakuan terbuka, kerja sama senyap ini memperlihatkan adanya perubahan strategis besar di kawasan.
Sebuah ironi muncul, Arab Saudi menegaskan tidak mengizinkan wilayah udaranya digunakan untuk menyerang Iran, tetapi di sisi lain aktif mencegat ancaman dari Teheran.
Selama 12 hari operasi, tercatat lebih dari seribu drone Iran diluncurkan ke arah Israel. Sebagian besar berhasil dihancurkan jauh dari perbatasan Israel berkat kerja sama multinasional yang melibatkan negara-negara seperti Yordania, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat.
Pasukan militer AS dan Israel merupakan pihak paling aktif dalam operasi ini, mengerahkan pesawat tempur, kapal perang, sistem pertahanan udara seperti Patriot dan THAAD, serta pusat komando real-time.
Operasi besar ini dikoordinasikan oleh Komando Pusat AS (CENTCOM) di bawah kepemimpinan Jenderal Mike Kurilla.
Keberhasilan misi ini tak lepas dari kesiapan hasil latihan dan simulasi selama bertahun-tahun yang dilakukan bersama mitra internasional seperti Yunani, Italia, Siprus, Prancis, dan Inggris.
Di tubuh militer Israel sendiri, hubungan dengan mitra asing dikawal oleh Divisi Perencanaan Internasional IDF, yang menjaga komunikasi langsung dan berkesinambungan dengan pihak AS dan sekutunya.
Intensitas hubungan ini bahkan telah berubah dari pertemuan simbolis menjadi koordinasi harian.
Kepala Staf IDF saat ini, Letjen Eyal Zamir, melanjutkan relasi erat yang telah dibangun oleh pendahulunya Herzi Halevi dengan jajaran militer AS.
Amerika bukan hanya menjadi penghubung antara Israel dan sekutunya, tetapi juga mediator dengan negara-negara Arab yang belum menjalin hubungan diplomatik resmi dengan Tel Aviv.
Koalisi ini telah terbukti efektif tidak hanya dalam konflik terbaru, tapi juga selama serangan Iran pada April dan Oktober 2024.
Namun, dalam pertempuran yang berlangsung selama 12 hari terakhir, skala operasi dan keterlibatannya jauh lebih luas dan kompleks, menandai fase baru dalam dinamika keamanan regional Timur Tengah.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]