WahanaNews.co | Terkait peluncuran misil, Korea Utara (Korut) menuduh Amerika Serikat (AS) telah bermuka dua, dan menganggap Washington DC bertanggung jawab atas terhentinya perundingan nuklir.
Pernyataan Korut itu dilontarkan beberapa hari setelah Korut dan Korea Selatan (Korsel) pada hari yang sama melakukan peluncuran misil.
Baca Juga:
Donald Trump Tunjuk Elon Musk Pimpin Departemen Efisiensi Pemerintah di Kabinetnya
Korsel pada Rabu (15/9) lalu berhasil menguji coba misil balistik yang diluncurkan kapal selam (submarine-launched ballistic missile/SLBM) dan keberhasilan itu menjadikan Negeri Ginseng itu sebagai negara ketujuh di dunia yang memiliki kemampuan teknologi persenjataan tersebut.
Beberapa jam sebelumnya, Korut telah menembakkan dua misilnya ke arah laut. Kantor berita resmi Korut,Korean Central News Agency(KCNA), pada Kamis (16/9) merilis foto yang memperlihatkan bahwa misil-misil itu ditembakkan dari sebuah kereta.
Menanggapi peluncuran misil oleh Korut, Washington DC segera mengeluarkan kecaman dengan mengatakan bahwa peluncuran itu telah melanggar beberapa resolusi Dewan Keamanan PBB dan telah menimbulkan ancaman bagi Korsel dan negara-negara lain.
Baca Juga:
Donald Trump Mulai Umumkan Nominasi Anggota Kabinet, Ini Daftarnya
KCNA lalu mengecam komentar Washington DC karena telah bermuka dua dengan mendiamkan tindakan Korsel, mengacu pada peluncuran SLBM tersebut.
"Tindakan bermuka dua Washington DC adalah batu sandungan dalam cara menyelesaikan masalah Semenanjung Korea dan katalisator ketegangan," kata KCNA, mengutip keterangan dari seorang analis urusan internasional, Kim Myong Chol.
"Inilah alasan yang tepat di balik kebuntuan dalam pembicaraan Korut-AS," imbuh kantor berita Korut itu.
Saat ini Korut sedang dikenai sanksi internasional terkait program senjata nuklir dan misil balistiknya. Sejauh ini Korut menyatakan bahwa program persenjataan mereka perlu dipertahankan untuk mencegah terjadinya invasi oleh AS.
Perundingan nuklir Korut-AS sendiri telah terhenti sejak kegagalan KTT 2019 di Hanoi yang mempertemukan pemimpin Korut, Kim Jong-un, dengan Presiden AS saat itu, Donald Trump. Perundingan tersebut digelar dengan tujuan untuk membahas keringanan sanksi dengan imbalan agar Pyongyang mau menghentikan program nuklir dan pengembangan persenjataannya.
Washington DC sebenarnya telah berulang kali menekankan kesediaannya untuk melakukan diplomasi dengan Pyongyang, dengan Sung Kim, perwakilan khusus AS untuk Korut, pada pekan ini telah mengulangi seruan tawaran untuk berunding tanpa prasyarat.
Namun Kim Jong-un menekankan bahwa istilah denuklirisasi tidak akan pernah bisa dibicarakan kecuali Washington DC mengakhiri kebijakan permusuhan terhadap Pyongyang.
Aktivitas di Yongbyon
Sementara itu kantor beritaKBSpada Jumat melaporkan bahwa Institut Studi Internasional Middlebury di AS pada Kamis (16/9) telah mempublikasikan citra satelit terbaru dari fasilitas pengayaan uranium di Yongbyon, Korut.
Berdasarkan citra satelit yang diambil pada 14 September itu, terlihat ada enam buah lubang dan tembok besar di tempat yang dulunya ditanami pohon pada awal Agustus lalu.
Menurut pihak institut tersebut, pohon itu dicabut pada awal September dan tanahnya telah diratakan dengan ekskavator. Institut itu memperkirakan Korut telah membongkar enam fasilitas pendingin yang ada, lalu membangun sentrifugal untuk pengayaan uranium dengan memperbesar fasilitas tersebut hingga seribu meter persegi.
Meskipun sulit mengetahui aktivitas Korut hanya melalui citra satelit saja, namun Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) sempat melaporkan adanya tanda-tanda pengoperasian kembali fasilitas nuklir Yongbyon. [rin]