WahanaNews.co | Indonesia telah memutuskan menerima tanggung jawab Presidensi G20 pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Roma, Italia, pada 31 Oktober 2021. Pemerintah lalu memilih tema "Recover Together, Recover Stronger" atau "Pulih Bersama, Bangkit Lebih Hebat"
G20 sendiri adalah kelompok yang terdiri dari 19 negara, yaitu Argentina, Arab Saudi, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Australia, Brasil, China, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jerman, Kanada, Korea Selatan, Meksiko, Prancis, Rusia, Turki, Jepang dan satu organisasi regional, yaitu Uni Eropa.
Baca Juga:
Sherpa G20 Indonesia Pimpin Perundingan Sebagai Perjalanan Akhir Presidensi G20 Brasil
Kelompok G20 mewakili lebih dari 60 populasi global, 75 persen perdagangan dunia dan lebih dari 80 persen perekonomian dunia.
G20 dibentuk pada 1999 atas saran para menteri keuangan anggota G7 untuk membahas kebijakan demi mencapai stabilitas keuangan internasional setelah dilanda krisis keuangan global tahun 1997-1999 dengan melibatkan negara maju dan berkembang.
Sekalipun keputusan dalam G20 tidak mengikat, tetapi apa yang diputuskan dalam konferensi itu menjadi arahan penting bagi kebijakan ekonomi negara-negara anggota, lembaga multilateral serta pelaku ekonomi dan swasta, termasuk juga organisasi non-pemerintah.
Baca Juga:
Menkeu Lakukan Diskusi Strategis tentang Pembiayaan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan
Ada ekspektasi Indonesia menjalankan presidensi G20, tak hanya sebagai ketua (chair), tapi juga sebagai pemimpin (leader). Sebagai pemimpin, tentu ada peran lebih yang harus dilakukan Indonesia selama memimpin G20, yakni mempengaruhi hingga menentukan kerangka kebijakan dunia ke depan.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo saat menyampaikan sambutan dalam pembukaan Presidensi G20 Indonesia di Istana Negara Jakarta pada 1 Desember 2021.
Jokowi ingin Presidensi Indonesia di G20 tidak sebatas seremonial belaka. Indonesia mendorong negara-negara G20 untuk melakukan aksi-aksi nyata. Indonesia akan terus mendorong negara-negara G20 menghasilkan terobosan-terobosan besar.
Presidensi Indonesia di G20, juga akan digunakan untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan negara-negara berkembang. Indonesia berusaha membangun tata kelola dunia yang lebih adil.
Indonesia berupaya memperkuat solidaritas dunia mengatasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan, dan menggalang komitmen negara maju membantu negara berkembang, negara kaya membantu negara miskin.
Untuk mencapai terobosan-terobosan tersebut, Presiden Jokowi mengatakan Indonesia akan fokus untuk mengerjakan tiga hal. Pertama, penanganan kesehatan yang inklusif. Kedua, transformasi berbasis digital. Ketiga, transisi menuju energi berkelanjutan.
Dalam G20, memang terdapat dua trek (jalur) pembicaraan, yaitu keuangan serta trek sherpa. Trek sherpa baru dimulai pada 2010 untuk membahas isu di luar keuangan, seperti geopolitik, antikorupsi, pembangunan, perdagangan, energi, perubahan iklim dan kesetaraan gender, ekonomi digital, pariwisata, pendidikan, transisi energi, pekerjaan, kesehatan dan lainnya.
Sehingga agenda prioritas di jalur keuangan adalah: (1) Koordinasi exit strategy untuk mendukung pemulihan global; (2) Upaya penanganan dampak pandemi (scaring effects) dalam perekonomian guna mendukung pertumbuhan yang lebih kuat di masa depan; (3) Penguatan sistem pembayaran di era digital; (4) Pengembangan pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance; (5) Peningkatan sistem keuangan yang inklusif dan (6) Agenda perpajakan internasional
Sementara agenda prioritas jalur sherpa: yaitu (1) Arsitektur kesehatan global; (2) Transformasi digital; (3) Transisi energi yang berkelanjutan.
Untuk arsitektur kesehatan global, Indonesia berfokus untuk pemulihan dari pandemi COVID-19. Indonesia, seperti banyak negara berkembang lainnya, menghadapi tantangan untuk mendapatkan akses vaksin dan G20 merupakan wadah tepat untuk mendorong diskusi tentang bagaimana seluruh negara dapat mencapai target vaksinasi lebih cepat, khususnya untuk mengatasi risiko varian baru.
Kedua, transformasi digital. Potensi ekonomi digital yang dimiliki Indonesia diharapkan menjadi modal penting dalam negosiasi di G20. Sepanjang 2021, ekonomi digital Indonesia diperkirakan memiliki nilai penjualan 70 miliar Dolar AS dan pada 2025 diproyeksikan dapat mencapai 146 miliar Dolar AS.
Selanjutnya untuk transisi energi berkelanjutan jelas membutuhkan komitmen yang kuat terhadap pengurangan emisi disertai kebijakan dengan target terukur sesuai kondisi masing-masing negara.
Transfer teknologi yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan dari negara maju ke negara berkembang dalam pengembangan energi terbarukan, baik hidro, geotermal, solar dan gelombang laut, membuat ekonomi hijau harus menjadi kenyataan.
Tantangan Rusia-Ukraina
KTT G20 belum berlangsung, kemudian muncul tantangan berat yang tak diperkirakan sebelumnya, yaitu konflik antara Rusia, yang merupakan anggota G20, dengan Ukraina.
Sejak 17 Februari 2022 terjadi baku tembak artileri antara pasukan Ukraina dan separatis pro-Rusia di Ukraina timur. Pasukan separatis mengumumkan evakuasi hingga 700 ribu warga sipil ke Ukraina.
Serangan Rusia terhadap negara tetangganya tersebut bukan hanya membuat harga komoditas dan bahan pangan melambung, namun juga memaksa perekonomian dunia dapat melambat. Alasannya karena sanksi yang diterapkan negara-negara Barat terhadap Rusia, lalu dibalas oleh Moskow, sehingga mengkhawatirkan nasib kerja sama internasional, termasuk forum G20.
Persoalannya, pada satu kubu terdapat Amerika Serikat (AS) dan negara-negara sekutu tradisionalnya. Pada kubu lain, terdapat Rusia. Beberapa negara lain tidak secara langsung melekat ke salah satu kubu, tetapi memiliki gradasi kedekatannya masing-masing pada kubu AS ataupun kubu Rusia. Selama ini AS dan sekutunya juga tidak akan mau duduk dalam meja perundingan.
Presiden Jokowi sebagai Presiden G20 mengatakan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping tetap akan hadir dalam konferensi puncak G20 di Bali. Indonesia akhirnya mengundang Presiden Ukraina sebagai jalan tengah.
Isu Rusia-Ukraina juga sempat diangkat Presiden Jokowi dalam pidato pembukaan Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Jakarta Kamis 17 Februari 2022.
Isu tersebut disampaikan Presiden guna mengingatkan negara-negara anggota G-20 lainnya untuk menghentikan rivalitas.
"Saat ini semua pihak harus menghentikan rivalitas dan ketegangan. Kita harus fokus untuk bersinergi, untuk berkolaborasi menyelamatkan dan membangkitkan dunia tempat kita hidup untuk segera bangkit kembali, pulih kembali," ungkap Presiden.
Tak hanya sebatas berbicara dari Jakarta, Presiden Jokowi melakukan lawatan langsung ke Jerman, Ukraina, Rusia dan Uni Emirat Arab (UEA) pada 26 Juni - 2 Juli 2022, termasuk untuk mengajak negara-negara tersebut fokus pada kerja sama bukan pada pertentangan.
Selama di Jerman, Presiden Jokowi menghadiri KTT G7 sebagai negara mitra, sekaligus pemegang presidensi G20. Selain itu, Presiden Jokowi juga melakukan sejumlah pertemuan bilateral, antara lain dengan Kanselir Jerman, Presiden Prancis, Perdana Menteri (PM) India, PM Kanada dan PM Inggris.
"Selain membahas isu penguatan kerja sama bilateral, isu terkait perang di Ukraina dan dampaknya terhadap rantai pasok pangan dunia dibahas hampir di semua pertemuan bilateral tersebut. Di dalam pertemuan-pertemuan bilateral tersebut, Presiden kembali menekankan bahwa waktu kita tidak panjang untuk menyelesaikan gangguan rantai pasok pangan yang menyebabkan kelangkaan dan kenaikan harga pangan dan pupuk," kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Presiden Jokowi kemudian melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, di Istana Maryinsky, Kyiv. Dalam pertemuan tersebut, Jokowi menyampaikan bahwa kunjungannya ke Ukraina merupakan perwujudan kepedulian masyarakat Indonesia untuk Ukraina dan menegaskan posisi Indonesia mengenai pentingnya penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah.
Dari Ukraina, Presiden Jokowi menuju Moskow, Rusia, dan bertemu dengan Presiden Vladimir Putin. Presiden Jokowi menyatakan kesiapannya menjadi jembatan komunikasi antara Rusia dengan Ukraina, dan meminta jaminan keamanan Rusia bagi jalur ekspor pangan Ukraina.
Presiden Jokowi pun menyerukan negara G7 dan G20 agar bersama-sama mengatasi krisis pangan yang saat ini mengancam rakyat di negara-negara berkembang jatuh ke jurang kelaparan dan kemiskinan ekstrem. Negara G7 perlu untuk mengintegrasi ekspor gandum Ukraina dan ekspor komoditas pangan dan pupuk Rusia dalam rantai pasok global.
Tidak ketinggalan Presiden Jokowi menekankan komunikasi secara proaktif kepada publik dunia bahwa komoditas pangan dan pupuk dari Rusia tidak terkena sanksi.
"Sebanyak 323 juta orang di tahun 2022 ini, menurut World Food Programme, terancam menghadapi kerawanan pangan akut. G7 dan G20 memiliki tanggung jawab besar untuk mengatasi krisis pangan ini. Mari kita tunaikan tanggung jawab kita, sekarang, dan mulai saat ini," tegas Presiden Jokowi.
Selain berkomunikasi ke G7, Rusia dan Ukraina, Indonesia juga perlu mendekati AS dengan pendekatan ASEAN. Indonesia sendiri akan menjadi ketua ASEAN pada 2023.
AS membutuhkan Indonesia dan ASEAN untuk tujuannya menyukseskan rencana "Indo-Pacific Framework". Rencana pemerintahan Biden di Asia memerlukan dukungan Indonesia agar berhasil.
Indonesia bisa menyampaikan ini bersama negara ASEAN lain yang juga menghadapi permasalahan serupa, seperti Thailand yang menjadi tuan rumah pertemuan APEC 2022. Peran Indonesia, baik di G20 maupun bobotnya di ASEAN menjadikannya vital bagi AS.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua I Bidang Sherpa Track Presidensi G20 Indonesia Airlangga Hartarto pernah menulis di satu harian nasional bahwa G20 perlu diubah pendekatannya, dari toko obrolan (talking shop) menjadi parade aksi (parade of actions) yang mempertimbangkan berbagai kepentingan bersama, "network interdependence" dan keuntungan bersama.
Pembahasan dampak ekonomi dari krisis Ukraina, menurut Airlangga, tidak terhindarkan dalam forum G20. Namun, presidensi Indonesia tetap akan mengedepankan berbagai penyelesaian terhadap tiga agenda prioritas.
Sejauh ini, Airlangga menyebut, pertemuan di tingkat "Working Group dan Engagement Group Sherpa Track" berjalan baik, lancar, dan terkendali.
Terdapat dinamika yang merefleksikan pandangan beberapa negara terhadap situasi di Ukraina, tapi secara umum para delegasi tetap fokus membahas agenda utama G20, yakni arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi berbasis digitalisasi dan transisi energi serta isu lintas sektor lainnya.
"Pemerintah terus berkoordinasi dan berkomunikasi secara internal, baik dalam 'Sherpa Track' maupun 'Finance Track', dan melakukan pembahasan untuk menyikapi situasi yang berkembang akibat krisis di Ukraina dan posisi presidensi G20 Indonesia," ungkap Airlangga.
Sesungguhnya tidak ada kaitan langsung antara Presidensi G20 Indonesia 2022 dengan perang Rusia-Ukraina. Namun konflik kepentingan antara AS dan sekutu-sekutunya melawan Rusia (dan sekutunya) terkait krisis di Ukraina tak terhindarkan merembet ke G20.
Pada saat yang sama, persoalan ekonomi global, krisis pangan, krisis energi hingga krisis keuangan ada di depan mata sebagai dampak banyaknya sanksi terhadap Rusia, sehingga menjadi topik relevan di G20.
Pekan yang Menentukan
KTT G20 memang baru akan berlangsung pada 15-16 November 2022, namun sejak 10 November 2022 telah dilakukan sejumlah pertemuan pendahuluan, seperti pertemuan deputi bidang keuangan dan kesehatan (10-11 November), Sherpa Meeting ke-4 (11-13 November), Sherpa Meeting gabungan bidang kesehatan dan keuangan (12 November), L20 Employment Summit (13-14 November), B20 Summit (13-14 November), pertemuan menteri kesehatan dan keuangan (13 November) hingga pertemuan para pemimpin pemerintahan anggota G20 pada 15-16 November. Pekan yang padat.
Salah satu pemimpin Uni Soviet Vladimir Lenin pernah mengatakan "Ada suatu dekade dimana tidak terjadi apa-apa, tapi ada satu pekan dimana suatu dekade terjadi".
Lenin menyampaikan hal tersebut untuk mengaitkan dengan revolusi Bolshevik, peristiwa yang mengakhiri kekuasaan Tsar Nicholas II, sekaligus menandai dimulainya era Uni Soviet.
Saat ini dunia juga sedang menyaksikan munculnya sejumlah hal buruk dalam geopolitik tradisional: kompetisi di antara great powers, persaingan untuk mendapatkan sumber daya, yang berkelindan dengan tantangan modern, yaitu perubahan iklim, pandemi hingga proliferasi nuklir.
Kondisi tersebut membuat hampir tidak mungkin bagi negara-negara besar dalam satu kawasan untuk bekerja sama dalam mengatasi tantangan regional dan internasional, meski mereka ingin melakukannya.
Perubahan iklim dan pandemi COVID-19 adalah contoh nyata kurangnya kesepakatan multilateral yang efektif, telah mendorong lebih banyak negara untuk bersikap free-ride, sehingga menciptakan lebih banyak lagi emisi karbon hingga tidak memadainya akses vaksin bagi negara-negara berkembang maupun tertinggal.
Padahal tatanan dunia pada akhirnya bertumpu pada norma, aturan dan institusi untuk menentukan bagaimana sebagian besar negara bertindak sehingga partisipasi multilateral untuk mengatasi beragam persoalan global akan tetap diperlukan.
Sepekan pada November 2022 di Nusa Dua, Bali pun menentukan apakah forum G20 dapat memberikan kontribusi terhadap stabilitas tatanan kawasan dan dunia pada dekade ini dan dekade-dekade selanjutnya. [qnt]