WahanaNews.co I Kejaksaan
Agung (Kejagung) masih mendalami dugaan tindak pidana korupsi dalam penyediaan
obat AIDS dan penyakit menular seksual (PMS) pada Kementerian Kesehatan RI Tahun
Anggaran 2016.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
"Saksi yang diperiksa hari ini, Wayan Suarthana selaku
Inspektur IV pada Itjen Kemenkes 2015, dan Purwandi selaku Inspektur jenderal
Kemenkes tahun 2015-2018," ucap Kepala Pusat Penerangan Hukum
(Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak melalui keterangan resmi,
Kamis (17/12).
Baca Juga:
Kemenkes: Dampak Pestisida Sistemik pada Anggur Muscat Bisa Bertahan Meski Dicuci
Leonard menuturkan pemeriksaan saksi tersebut dilakukan
untuk mencari fakta hukum dan mengumpulkan alat bukti yang diduga terjadi dalam
proses pengadaan obat tersebut.
Dia belum dapat menuturkan secara lengkap mengenai
kronologis kejadian ataupun dugaan pelanggaran tindak pidana korupsi yang
diduga penyidik terjadi dalam kasus ini.
Menurut dia, kasus penyediaan obat AIDS dan PMS yang saat
ini disidik adalah pengembangan kasus sebelumnya pada 2016 silam.
Kala itu, Direktorat Tata Kelola Obat Publik dan Pembekalan
Kesehatan pada Ditjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes melakukan lelang
pascakualifikasi pekerjaan terkait pengadaan obat AIDS dan PMS.
Kemenkes lalu mengadakan lelang itu dalam dua tahap. Pada
lelang tahap I yang menjadi pemenang adalah PT. Kimia Farma Trading &
Distributor (anak perusahaan dari PT. Kimia Farma (persero) dengan kontrak
sebesar Rp 211.649.987.736.
Sedangkan pada lelang tahap II yang menjadi pemenang adalah
PT. Indofarma Global Medika (anak perusahan dari PT. Indofarma) dengan harga
kontrak Rp 85.197.750.000.
Dalam menyusun HPS dan spesifikasi teknis, diduga telah
terjadi penyimpangan. "Diduga tidak dilakukan survei terhadap harga,"
tutur Leonard.
Sebelumnya, Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus juga memeriksa empat penjabat Kemenkes yakni, Oong Rusmana
selaku Tim Telaah Atas Usulan Penetapan Pemenang Pengadaan Obat AIDS dan PMS
Tahun 2018 pada Kemenkes; Dadi Suhardiman selaku Auditor Muda pada Inspektorat
Jenderal Kemenkes Tahun 2018; Warseno selaku Tim Telaah Atas Permohonan
Penetapan Pemenang Pengadaan Obat AIDS dan PMS Kemenkes Tahun 2016; dan Heru
Arnowo selaku Sekretaris Inspektur Jenderal Kemenkes.
"Pemeriksaan para saksi dilakukan guna
mencari fakta hukum dan mengumpulkan alat bukti tentang tindak pidana yang
diduga terjadi dalam proses Penyediaan Obat AIDS dan PMS pada Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI)," ujar Kepala Pusat Penerangan
Hukum Kejagung, Hari Setiyono dalam keterangannya, Selasa (7/12/2020).
Pada
masa H. Muhammad Prasetyo menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Agung, juga telah
memeriksa Direktur Utama (Dirut)
PT. Kimia Farma Trading & Distribution, Yayan Heryana; Asisten Manager Prinsipal PT. Kimia Farma
Trading & Distribution, Rahmad Rialdi; dan Direktur Supply Chain PT. Kimia
Farma (Persero), Djisman Siagian.
Selain itu, Kejagung juga memanggil Direktur Pengembangan
PT. Kimia Farma (Persero), Pujianto; Marketing Manager Obat Generik &
Produk Khusus PT. Kimia Farma (Persero), Eva Fairus; Mantan Dirut PT. Kimia Farma
(Persero) dan Direktur Utama PT. Indofarma Medika Global.
Ketua
LSM Indonesia
Corupption Observer (InaCo), Order Gultom, SS, juga mendesak Kejaksaan Agung
RI, untuk menuntaskan penyelidikan dugaan korupsi pengadaan obat antiretroviral
(ARV) atau obat penyakit AIDS dan PMS di Kementerian Kesehatan RI Tahun
Anggaran 2016. Sebab sejak Kejagung mengumumkan dimulainya penyelidikan
terhadap dugaan korupsi tersebut pada bulan Mei 2019 sampai sekarang belum ada
yang di jadikan tersangka.
Senada dengan Order, LSM Indonesia AIDS
Coalition (IAC) Aditya Wardhana,
lembaga yang beranggotakan kelompok terdampak AIDS juga mendesak keseriusan
Kejaksaan Agung dalam menangani dugaan korupsi
pengadaan obat antiretroviral (ARV) atau obat penyakit AIDS dan PMS
Tahun Anggaran 2016.
"Harga obat
AIDS di pasaran International sekitar USD 8 per botol tapi kemudian pemerintah
kita membelinya dengan harga Rp. 400 ribu pada tahun 2016. Artinya kan ada
potensi kerugian negara disitu," kata Aditya Wardhana, dalam rilisnya, Minggu
(01/03/2020). (Kurs rupiah 1 USD Tahun 2016 = Rp. 14.000).IAC sendiri
membuat perhitungan cost structure analysis yang menunjukkan bahwa ada
potensi kerugian negara sebesar lebih dari Rp. 150 milyar akibat inefisiensi
dalam pengadaan obat-obatan HIV dan AIDS di tahun 2016.(tum)