WahanaNews.co | Beberapa pekan lalu, sejumlah organisasi profesi kesehatan melakukan aksi damai menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
Pembahasan RUU Kesehatan melalui pendekatan Omnibus-Law ini pun masih terus dilakukan oleh Pemerintah dan DPR dengan tujuan dapat mengurangi atau menghilangkan ketidakharmonisan yang terjadi di antara beberapa pihak.
Baca Juga:
Jokowi Harap RUU Kesehatan Bisa Perbaiki Reformasi di Bidang Pelayanan
Berikut ini Organisasi Profesi Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan Asosiasi Institusi Perguruan Tinggi Kesehatan Masyarakat Indonesia (AIPTKMI), menyampaikan beberapa catatan kritis terkait isi dari RUU Kesehatan tersebut.
Pertama, Pengurus Pusat IAKMI dan AIPTKMI mengapresiasi niat baik DPR dan Pemerintah untuk melakukan Transformasi Sistem Kesehatan, termasuk untuk mendorong terbitnya Undang-Undang Kesehatan Omnibus- Law.
Akan tetapi, pihaknya meminta agar proses penyusunan dan pembahasan RUU tersebut dilakukan dengan penuh kecermatan dan kehati-hatian serta memperhatikan masukan dan keterlibatan masyarakat luas termasuk Organisasi Profesi, Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan dan Asosiasi/Pemerhati Kesehatan lainnya.
Baca Juga:
Jokowi Harap RUU Kesehatan Dapat Reformasi Pelayanan Kesehatan di Indonesia
"Prosesnya dilakukan tidak hanya sekedar formalitas melaksanakan kegiatan partisipasi publik, akan tetapi kemudian tidak mempertimbangkan dan memasukannya dalam draft RUU Kesehatan," kata perwakilan IAKMI dan AIPTKMI dalam pernyataan resminya, Jumat (12/05/2023).
Selain itu, kedua organisasi kesehatan tersebut juga mengusulkan agar kesehatan masyarakat menjadi payung dari RUU Kesehatan yang sedang dibahas ini.
"Upaya-upaya dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan primer lebih dititikberatkan pada upaya promotif dan preventif serta perlu dipertegas bahwa semua level Upaya Kesehatan Masyarakat itu diselenggarakan melalui Upaya Kesehatan Masyarakat primer, sekunder dan tersier," katanya.
Ketiga, pihak IAKMI dan AIPTKMI akan mendukung kenaikan besaran anggaran kesehatan oleh pemerintah minimal 10% APBN dan APBD di luar gaji dengan memastikan alokasi anggaran yang efektif dan efisien dengan lebih prioritas pada upaya promotif dan preventif.
Menurut Pengurus Pusat IAKMI dan AIPTKMI, dalam rangka menghilangkan unsur diskriminasi dan menjunjung asas kesetaraan antar profesi kesehatan, pasal tentang Sumber Daya Manusia Kesehatan, penyebutan tenaga medis perlu dihilangkan dan diganti dengan Tenaga Kesehatan.
"Mengusulkan untuk menghilangkan pasal-pasal diskriminatif, yang tidak memberikan peluang dan kesempatan yang sama untuk seluruh tenaga kesehatan, termasuk jabatan Kepala atau Direktur Rumah Sakit, yang diisi oleh Tenaga Kesehatan atau Profesional dengan kompetensi manajemen rumah sakit," imbuhnya.
Kemudian, pemerintah perlu mendukung Jenis Ahli Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu jenis dalam kelompok tenaga kesehatan masyarakat, dengan pertimbangan secara de facto program studi kesehatan masyarakat (S1, S2 dan S3) telah berdiri lama sejak tahun 80an dan menghasilkan ratusan ribu lulusan telah berkontribusi banyak dalam meningkatkan derajat kesehatan bangsa dan menjadi mitra kerja Kemenkes dan berbagai stakeholder selama ini.
"Mereka memiliki memiliki Surat Tanda Registrasi Ahli Kesehatan Masyarakat (AKM), memiliki standar kompetensi dan profesinya, namun ironinya sampai saat ini secara de jure belum diakui oleh Kemenkes. Kami mendorong, dalam RUU Kesehatan ini perlu dicantum secara tegas dan Kemenkes kira segera mengeluarkan Keputusan Menteri berkaitan Jenis Tenaga Kesehatan Masyarakat," ujarnya.
Pada poin ketujuh, Pengurus Pusat IAKMI dan AIPTKMI mengusulkan agar pemerintah memastikan Jenis dan Lingkup Tenaga Kesehatan Masyarakat yang meliputi Ahli kesehatan masyarakat; epidemiolog kesehatan; tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku; pembimbing kesehatan kerja; tenaga administrasi dan kebijakan kesehatan; tenaga biostatistik dan kependudukan; tenaga kesehatan reproduksi dan keluarga; tenaga kesehatan lingkungan; dan tenaga gizi kesehatan masyarakat.
"Jenis-jenis ini perlu diatur secara tegas dalam RUU. Bila pemerintah memandang jenis-jenis tersebut perlu disederhanakan, kami mengusulkan untuk bahwa kelompok Tenaga Kesehatan Masyarakat itu terdiri dari berbagai jenis Ahli Kesehatan Masyarakat dan rincian jenis-jenis Tenaga Kesehatan Masyarakat perlu segera diatur lebih lanjut melalui Peraturan di bawah Undang-Undang," tambahnya.
Lebih lanjut, pemerintah juga perlu mendukung setiap kelompok Tenaga Kesehatan hanya memiliki satu Organisasi Profesi, yang di dalamnya terdiri dari berbagai perhimpunan keilmuan terkait, agar masalah kesehatan bangsa dapat diselesaikan secara komprehensif holistik integratif, efisien dan efektif di masa mendatang.
Kemudian, dalam pembahasan RUU Kesehatan ini, sebaiknya pemerintah mendukung adanya Uji Kompetensi pada pendidikan akademik sebagai upaya standardisasi dan membangun mutu lulusan yang merata di seluruh wilayah Indonesia serta mendukung setiap Tenaga Kesehatan termasuk Tenaga Kesehatan Masyarakat memiliki STR agar setiap tenaga kesehatan mendapatkan kesempatan yang sama mendapatkan pekerjaan dan pelayanan kesehatan Masyarakat serta bukti pengakuan negara terhadap kompetensi tenaga Kesehatan.
Terakhir, pihak IAKMI dan AIPTKMI berharap pemerintah dapat mempertahankan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagai Lembaga Non Struktural yang ditetapkan dan bertanggung jawab kepada Presiden sehingga secara independen dapat menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintah, dalam rangka pengaturan, penetapan dan pembinaan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik Tenaga Kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
[Redaktur: Zahara Sitio]