WahanaNews.co | Kasus antraks yang tengah disorot mendapat tanggapan dari pakar kedokteran hewan asal Universitas Airlangga (Unair), Nusdianto Triakoso.
Kejadian yang terjadi ada hubungannya dengan tradisi Mbrandu yang dia anggap sangat buruk untuk kesehatan.
Mbrandu ialah membeli dan memakan ternak mati demi meminimalkan risiko keuangan.
Baca Juga:
Inggris Diprediksi Bakal Hadapi Wabah Flu Burung dalam Skala Besar
Dia mengatakan di tempat lain biasa disebut dengan dipurak atau pemotongan dan pembagian daging hewan ternak yang hampir atau sudah mati.
“Tidak semua ternak yang sakit itu positif antraks. Tapi kebiasaan makan ternak mati atau sakit itu buruk," tegas Nusdianto dikutip dari laman unair.ac.id, Sabtu (8/7/2023).
Dia menyebut masyarakat mesti mendapat edukasi dari berbagai pihak. Hal itu agar warga tak mengulangi tradisi yang salah.
"Sebaiknya ada edukasi dari berbagai sudut pandang, baik sisi ekonomi, budaya, dan agama. Sehingga, hewan yang sakit atau sudah mau mati, bahkan sudah dikubur, tidak dipotong, disembelih, dan dikonsumsi,” ungkap dia.
Antraks disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Bakteri ini bisa berubah menjadi bentuk spora bila bertemu dengan udara dan akan mempunyai ketahanan sangat kuat bertahan di lingkungan atau tanah hingga berpuluh tahun.
Resistensi ini menyebabkan kawasan yang telah terdeteksi antraks perlu pengawasan. Sebab, terdapat peluang terjadinya antraks yang lebih tinggi karena ternak terinfeksi dari pakan yang tercemar spora antraks di tanah.
Dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair itu menyarankan pemerintah dan dinas terkait melacak dan menangani sumber penularan hewan ternak yang terdeteksi antraks.
Setelah itu, dinas peternakan dan kesehatan dapat memberikan edukasi utamanya pada tradisi mbrandu, ataupun gejala dan penyembuhan penyakit antraks pada hewan maupun manusia.
“Harus mengingatkan peternak untuk segera melaporkan seluruh hewan ternak yang mati tiba-tiba. Juga tidak boleh membuka atau membelah ternak yang mati tiba-tiba di daerah endemik anthraks," ujar dia.
Nusdianto mengatakan bangkai ternak yang teridentifikasi antraks harus diburan minimal kedalaman dua meter dan ditaburi kapur. Hal itu agar bakteri tersebut mati dan tidak muncul ke permukaan tanah dan berpotensi menularkan ke hewan dan atau manusia.
Dia menyebut masyarakat harus menghindari kawasan yang terdeteksi spora antraks. Hal itu agar spora anthraks tidak mencemari pakan yang dikonsumsi hewan ternak konsumsi.
“Sebagai langkah pencegahan di daerah endemis, masyarakat harus menganggap semua ternak yang mati tanpa sebab sebagai penderita antraks. Meski, tidak terdapat tes secara laboratorium dan harus melakukan penguburan dalam-dalam. Tidak boleh membuka atau membelah hewan meski untuk tujuan tes laboratorium. Bisa melakukan tes laboratorium dari sampel darah yang keluar dari lubang-lubang alami tubuh,” tutur dia.
Peternak juga sebaiknya meningkatkan kekebalan dengan cara vaksinasi anthrax. Nusdianto menyebut dengan vaksin, ternak bisa kebal meskipun sewaktu-waktu memakan pakan yang tercemar spora bakteri antraks.
Peternak juga harus sigap melapor kepada petugas bila menemukan ternak yang terlihat sakit.
Baca Juga:
Bangladesh Tengah Hadapi Wabah DBD, Pakar Serukan Darurat Kesehatan Nasional
“Agar bisa segera didiagnosa. Karena bila tidak terlalu parah masih bisa diberikan antibakteri agar sembuh,” tutup dia.
[Redaktur: Zahara Sitio]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.