WAHANANEWS.CO, Jakarta - Indonesia saat ini menghadapi beban ganda penyakit, yakni peningkatan kasus penyakit kronis kompleks seperti jantung, stroke, dan diabetes, yang disertai masih tingginya penyakit infeksi menahun, di antaranya TBC dan HIV.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Retno Asti Werdhani, di Jakarta, Senin (18/8/2025), menegaskan bahwa sistem layanan kesehatan tidak bisa lagi hanya menitikberatkan pada penanganan jangka pendek.
Baca Juga:
Musim Hujan Tak Stabil, Kasus Chikungunya di Indonesia Naik Tajam Awal 2025
Menurutnya, diperlukan transformasi menuju layanan yang berkelanjutan, terintegrasi, dan berpusat pada pasien.
Salah satunya melalui penerapan Pelayanan Transisi (Transitional Care), yaitu proses koordinasi perawatan ketika pasien berpindah dari rumah sakit ke layanan primer, seperti puskesmas atau kembali ke rumah.
Ia mengingatkan, tanpa layanan transisi yang baik, satu dari lima pasien berpotensi kembali dirawat di rumah sakit dalam waktu 30 hari.
Baca Juga:
PPOK, Pembunuh Senyap dari Paru-paru: Ancaman Nyata Bagi Perokok
“Dalam sistem ini dokter keluarga memegang peran kunci sebagai care coordinator yang menghubungkan rumah sakit, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan komunitas. Agar pasien dapat pulih di rumah," jelasnya.
Prof. Retno juga menekankan bahwa keterlibatan keluarga, kader kesehatan, serta dukungan layanan seperti home care dan pusat komunitas sangat krusial untuk mendukung kesembuhan pasien secara menyeluruh.
Ia mencontohkan, program rujuk balik, pengelolaan penyakit kronis, maupun kunjungan rumah sudah mengarah pada praktik pelayanan transisi.
Namun, implementasinya masih terbatas, belum seragam, dan belum memiliki standar nasional.
Keterbatasan tersebut dipengaruhi minimnya tenaga kesehatan terlatih, ketiadaan mekanisme pembiayaan khusus, serta sistem informasi yang masih terpecah-pecah.
Karena itu, ia menilai diperlukan langkah strategis agar kesinambungan layanan dan integrasi pengelolaan penyakit dapat terjamin, baik di tingkat individu, keluarga, maupun komunitas.
Beberapa strategi yang disarankan meliputi standardisasi discharge planning (perencanaan pulang) di rumah sakit, penguatan peran Spesialis Kedokteran Keluarga (Sp.KKLP), integrasi data medis lintas fasilitas, penerapan model pembiayaan berbasis nilai (value-based care) seperti bundled payment, serta pendidikan kedokteran yang memperkenalkan pendekatan transisi sejak dini.
Pelayanan transisi, tambahnya, mencakup perencanaan pulang, edukasi, pemantauan, dan koordinasi lintas tim medis.
Dokter keluarga bersama komunitas menjadi penghubung penting dengan memahami kondisi pasien dalam lingkungannya sehari-hari.
Mereka juga mendorong keterlibatan keluarga yang didukung kader kesehatan maupun pekerja sosial di masyarakat.
“Pelayanan kesehatan berbasis kedokteran keluarga dan komunitas serta pelayanan transisi akan memperkuat layanan primer. Dan memberikan solusi bagi Indonesia di tengah tantangan penyakit kronik dan populasi menua," ujarnya.
Prof. Retno menutup bahwa kedokteran keluarga, komunitas, dan pelayanan transisi merupakan tiga pilar penting untuk membangun layanan kesehatan yang terintegrasi, berkesinambungan, dan mampu mendampingi pasien dari rumah sakit hingga kembali ke rumah.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]