WAHANANEWS.CO, Jakarta - Di balik gerakan sederhana berdiri dengan satu kaki, tersimpan petunjuk berharga tentang kondisi kesehatan kita yang sesungguhnya.
Di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya deteksi dini terhadap penyakit kronis dan penurunan fungsi tubuh, satu hal yang sering terlupakan justru adalah kemampuan menjaga keseimbangan.
Baca Juga:
Rahasia Kulit Nanas: Jadi Teh Segar Kaya Manfaat Kesehatan
Padahal, tubuh manusia punya cara unik memberi sinyal ketika ada yang tidak beres, dan salah satunya mungkin terlihat saat kamu gagal berdiri dengan satu kaki selama 10 detik.
Apakah kamu mampu berdiri dengan satu kaki selama 10 detik tanpa goyah? Jika tidak, bisa jadi itu bukan sekadar kurang latihan.
Bisa jadi tubuhmu sedang mencoba memberi sinyal penting soal kondisi kesehatannya. Meski terdengar sepele, kemampuan ini rupanya menyimpan informasi besar tentang proses penuaan yang tengah berlangsung dalam tubuh kita.
Baca Juga:
Mirabilis Jalapa, Si Cantik dari Tropis yang Bisa Obati Amandel hingga Keputihan
“Kemampuan untuk berdiri di satu kaki merupakan salah satu indikator paling akurat dalam menilai bagaimana seseorang mengalami penuaan,” jelas Clayton Skaggs, pendiri Central Institute for Human Performance (CIHP).
Studi terbaru dari Mayo Clinic pada tahun 2024 menemukan bahwa kemampuan menjaga keseimbangan saat berdiri di satu kaki lebih mencerminkan kondisi penuaan seseorang dibandingkan kekuatan otot atau gaya berjalan.
Tes ini mencerminkan kesehatan neuromuskular dan bisa menjadi alat untuk mendeteksi penyakit yang belum menunjukkan gejala secara fisik.
“Kami kerap menggunakan tes keseimbangan ini sebagai alat diagnostik untuk mengidentifikasi potensi penyakit,” terang Paraminder Padgett, ahli saraf dan terapis fisik di Dartmouth Hitchcock Medical Center.
“Ketidakseimbangan bisa disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik, tetapi juga bisa menunjukkan adanya gangguan neurologis.”
Berbagai penyakit kronis seperti diabetes, artritis, multiple sclerosis, Parkinson, hingga Alzheimer diketahui mampu memengaruhi keseimbangan secara perlahan.
Beberapa menyerang sistem saraf dan propriosepsi (kemampuan tubuh untuk menyadari posisi dan gerakan), sementara yang lain mengganggu fungsi otak dan kemampuan mengambil keputusan, semuanya berdampak pada stabilitas tubuh.
Keseimbangan Setelah Usia 40 Tahun
Berbagai sistem dalam tubuh bekerja sama untuk menjaga keseimbangan, mulai dari penglihatan, sistem somatosensorik (yang menangkap informasi dari kulit, otot, dan sendi), hingga sistem vestibular di telinga bagian dalam.
Sayangnya, sistem-sistem ini mulai mengalami penurunan fungsi setelah usia 40 tahun, terlebih jika gaya hidup kurang aktif.
“Seperti kulit yang mulai berkeriput seiring usia, otak juga mengalami perubahan struktural serupa,” ujar Padgett.
“Namun, kabar baiknya adalah otak tetap bisa beradaptasi jika terus digunakan secara optimal.”
Banyak orang mengira bahwa penurunan fungsi tubuh adalah bagian alami dari proses menua.
Namun menurut Skaggs, kebanyakan penurunan itu justru akibat dari pola hidup yang kurang aktif.
Misalnya, seseorang yang terbiasa menggunakan tangan saat berdiri dari kursi secara tidak sadar menciptakan pola gerak baru yang melemahkan otot-otot kaki.
Keseimbangan Bisa Dilatih, Bahkan Dipulihkan
Keseimbangan bukanlah kemampuan yang akan hilang selamanya seiring bertambahnya usia.
Dengan latihan yang tepat dan keterlibatan otak secara aktif, kemampuan ini bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan, tak peduli berapa usia kita saat ini.
“Tubuh manusia pada dasarnya didesain untuk mengandalkan kekuatan otot inti sebagai pusat stabilitas,” ungkap Skaggs.
Sayangnya, banyak orang setelah pensiun justru mengurangi aktivitas fisik dan merasa cukup hanya dengan duduk santai menonton televisi atau mengerjakan teka-teki silang.
Padgett menegaskan bahwa aktivitas seperti itu belum cukup untuk menjaga otak dan tubuh tetap aktif.
Ia menyarankan untuk melakukan latihan “dual-tasking” yang menggabungkan tantangan fisik dan mental secara bersamaan. Contohnya, berjalan sambil menyebutkan nama buah dari huruf A sampai Z.
Latihan semacam ini melatih otak untuk tetap tajam dalam mengambil keputusan sambil mengoordinasikan gerakan tubuh.
Latihan yang bervariasi juga penting untuk menstimulasi sistem vestibular.
Misalnya, posisi yoga seperti downward dog, di mana kepala berada di bawah, bisa membantu otak memproses arah dan posisi tubuh secara lebih dinamis.
Aktivitas yang melibatkan elemen tak terduga seperti bermain frisbee, hiking, atau juggling juga dapat memperkuat keseimbangan reaktif.
Bahkan hanya dengan berjalan tanpa alas kaki, kita sudah bisa menstimulasi sistem sensorik tubuh secara lebih dalam.
“Ketika kaki kita tidak dibatasi sepatu, informasi sensorik yang diterima tubuh jauh lebih kaya,” terang Padgett. “Hal ini juga dapat meningkatkan mobilitas kaki.”
Perubahan kecil seperti berdiri di atas permukaan busa, berjalan di jalan berbatu, atau latihan keseimbangan sambil menutup mata bisa mengaktifkan sistem tubuh yang jarang dipakai sehari-hari.
Namun yang paling penting, kata Padgett, adalah menemukan bentuk gerakan yang kita sukai.
“Saya mungkin tidak selalu menikmati setiap sesi latihan, tapi saya tahu saya selalu merasa lebih baik setelah melakukannya. Karena saya tahu, itu menjaga saya tetap aktif dan mampu melakukan hal-hal yang saya sukai tanpa rasa sakit.”
Penelitian juga menunjukkan bahwa latihan keseimbangan secara konsisten tidak hanya meningkatkan performa fisik, tetapi juga berdampak positif pada memori dan persepsi spasial.
“Hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk kesehatan adalah terus bergerak, dan bergerak sebanyak mungkin,” tutup Padgett.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]