Nida menegaskan bahwa perhatian utama seharusnya tidak terpaku pada nominal Rp10 ribu, melainkan apakah kebutuhan gizi keluarga bisa terpenuhi dengan layak.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia masih menghadapi tantangan triple burden malnutrition, yakni kondisi gizi berlebih, gizi kurang, dan hidden hunger atau kelaparan tersembunyi yang sering tidak disadari.
Baca Juga:
Prabowo Jadi Saksi Langsung Penandatanganan Perdamaian Gaza Bersama Trump, Erdogan, dan Macron
Dalam kondisi hidden hunger, seseorang memang merasa kenyang karena cukup mengonsumsi karbohidrat, namun tubuhnya tetap kekurangan zat penting seperti vitamin A, yodium, atau zat besi yang tidak banyak tersedia dalam makanan rendah variasi.
"Bisa jadi dia sudah merasa kenyang, tapi tidak mendapatkan asupan zat besi, vitamin A, atau yodium yang sesuai," jelasnya.
Penelitian Lancet Regional Health Southeast Asia pada 2022 mencatat bahwa mayoritas kasus hidden hunger di Indonesia berkaitan dengan defisiensi mikronutrien, sementara data Food and Agriculture Organization (FAO) menyebut dua miliar orang di dunia masih mengalami kekurangan zat gizi mikro.
Baca Juga:
Anak Riza Chalid Didakwa Korupsi hingga Rugikan Negara Triliun
"Jadi, harga itu bukan indikator utama, yang penting bagaimana kita memastikan protein, karbohidrat, dan mikronutrien lainnya tetap terpenuhi sesuai kemampuan," lanjutnya.
Dokter spesialis gizi klinik Johanes Chandrawinata turut mengingatkan risiko dari tren ini, terutama bagi ibu hamil dan anak yang sangat membutuhkan gizi optimal.
"Anak itu tidak minta dilahirkan, tapi orang tuanya yang menginginkan kehadirannya, karena itu, kebutuhan gizi anak sejak dalam kandungan menjadi tanggung jawab orang tua," ujar Johanes.