WahanaNews.co | Lima bandar besar terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) diungkapkan Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani tak pernah tersentuh hukum.
"Ini ada lima bandar besar (TPPO) yang enggak pernah disentuh oleh hukum," kata Benny mengutip dari CNNIndonesia, Jumat, (5/5).
Baca Juga:
Kasus Kerangkeng Manusia, MA Batalkan Vonis Bebas Eks Bupati Langkat
Benny menyebut para bandar perdagangan orang ini mendapat perlindungan dari oknum yang memiliki kekuasaan sehingga selalu lolos dari jeratan hukum.
"Saya sampaikan lagi kenapa para sindikat dan mafia segilintir orang ini sulit disentuh oleh hukum karena faktanya mereka dibekingi oleh oknum-oknum yang memiliki atributif-atributif kekuasaan di negara ini," ujarnya.
Politikus Partai Hanura itu mengatakan para oknum ini tersebar di berbagai kementerian dan lembaga terkait, termasuk di BP2MI. Ia mengklaim telah memecat salah satu pegawai BP2MI yang terlibat TPPO.
Baca Juga:
Komnas HAM Apresiasi Pemindahan Terpidana Mati Mary Jane ke Filipina
"Sudah-sudah saya juga sudah melaporkan (pihak yang terlibat TPPO) itu ke institusi masing-masing. Termasuk BP2MI telah memecat satu ASN 8 bulan yang lalu," katanya.
TPPO di Myanmar
Lebih lanjut, Benny mengungkap alur perekrutan pekerja migran Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang di Myanmar.
Pada awalnya, kata Benny, para migran asal Indonesia tergiur untuk bekerja di Thailand karena melihat iklan di media sosial.
"Melihat iklan medsos atau ditawari oleh teman di media sosial untuk bekerja di Thailand sebagai customer service," katanya.
Menurut Benny, mereka mendapat iming-iming gaji sebesar US$1.000 hingga US1.500. Para calon pekerja migran melakukan wawancara kerja secara daring melalui WhatsApp atau Zoom.
Ia menyebut Thailand menjadi negara transit sebelum akhirnya para korban TPPO tersebut dikirim melalui jalur darat secara illegal ke Myanmar.
"Setiba di Thailand, dijemput agen lokal, melanjutkan jalan darat melintasi perbatasan (sungai) Myanmar secara ilegal," ujarnya.
Benny mengatakan para pekerja migran tidak dipekerjakan sesuai dengan apa yang diiklankan. Alih-alih bekerja sebagai customer service, mereka malah menjadi online scammer.
"Dipekerjakan sebagai online scammer, dengan target hasil penipuan. Sebelum masa kontrak selesai, harus membayar uang denda dan pengganti biaya rekrutmen," ujarnya.
Modus penyelundupan tersebut sudah sering terjadi dan kerap kali berulang. Namun, Benny mengklaim permasalahannya terletak di aparat penegak hukum yang masih lemah.
"Saya katakan sebenarnya kalo kita bicara modus operandi kita semua udah paham. Siapa aja yang jadi korban, dari daerah mana dia dibawa, melalui mana transit dimana, kemudian keluar melalui darat, laut, udara melalui bandara kita udah paham," katanya.
"Kunci sekarang adalah penegakan hukum. Penegakan hukum ini masih banci. ya penegakan hukum itu tidak hanya kita melakukan proses hukum memenjarakan orang tapi termasuk pencegahannya juga harus kuat dilakukan oleh negara," ujar Benny menambahkan.
[Redaktur: alpredo]