WAHANANEWS.CO, Jakarta - Polisi membeberkan motif Nanang Irawan atau yang dipanggil Nanang Gimbal alias Limbad menusuk aktor Sandy Permana berkali-kali hingga tewas karena kesal diludahi dengan tatapan sinis.
Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Wira Satya Triputra mengatakan permasalahan itu terjadi pada saat Nanang dan Sandy menghadiri rapat RT. Dalam rapat RT itu, Nanang mengaku mendapat tatapan sinis dari Sandy.
Baca Juga:
Kematian Sandy Permana, Polisi Ungkap Fakta Baru Soal Perkelahian dengan Tetangga
"Bermula dari korban melihat sinis terhadap pelaku yang didasari motif sakit hati pada saat kegiatan rapat RT," kata Wira dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Kamis (16/1).
Lalu pada saat hari kejadian atau pada Minggu (12/1) Sandy yang melintas di depan rumah Nanang kembali memberikan tatapan sinis.
Bahkan, saat itu Sandy disebut juga sempat meludah ke arah Nanang. Alhasil, Nanang pun langsung tersulut emosi.
Baca Juga:
Sebelum Tewas Ditusuk, Aktor Sandy Permana Sempat Duel dengan Tetangga
Akhir Pelarian Nanang 'Limbad' Pembunuh Aktor Sandy Permana
"Korban meludah dengan tatapan sinis terhadap tersangka kemudian tersangka merasa emosi, lalu tersangka mengambil pisau dari kandang ayam samping rumah," tutur Wira.
"Kemudian tersangka berlari mengejar korban dengan maksud untuk melukai korban serta meluapkan kekesalan yang selama ini tersangka pendam," imbuhnya.
Sandy setelah itu ditemukan dalam kondisi bersimbah darah oleh tetangganya di pinggir Jalan Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat, Minggu (12/1) pagi.
Setelah ditemukan, Sandy sempat dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan medis. Namun, nyawanya tidak tertolong.
Usai melakukan aksinya, Nanang pun langsung melarikan diri. Namun, pelarian itu berakhir setelah polisi menangkap Nanang saat sedang bersembunyi di wilayah Karawang, Jawa Barat pada Rabu (15/1).
Kini, Nanang telah menyandang status tersangka dan ditahan. Ia dijerat dijerat Pasal 354 KUHP tentang Penganiayaan dan atau Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
[Redaktur: Alpredo Gultom]