WAHANANEWS.CO - Sebanyak 36 jemaah calon haji non prosedural dicegah keberangkatannya di Bandara Soekarno-Hatta karena menggunakan visa kerja atau amil, bukan visa haji.
"Modusnya sama, menggunakan penerbangan transit," ujar Kasatreskrim Polres Bandara Soekarno-Hatta Kompol Yandri Mono dalam keterangan pada Rabu (07/05/2025).
Baca Juga:
Cegah Jemaah Terlantar, DPR Soroti Bahaya Haji Nonprosedural
Dari jumlah tersebut, 34 merupakan calon jemaah haji dan dua lainnya adalah pemimpin serta pendamping rombongan. Para calon jemaah ini berasal dari Tegal, Brebes, Lampung, Bengkulu, Palembang, Makassar, Medan, dan Jakarta, dengan usia antara 35 hingga 72 tahun.
Mereka merupakan penumpang SriLankan Airlines UL 356 tujuan Jakarta–Colombo dan Riyadh, dan dijadwalkan berangkat pada Senin (05/05/2025) pukul 15.00 WIB. Namun, keberangkatan digagalkan setelah petugas Imigrasi curiga terhadap dokumen yang digunakan.
Dari penyelidikan sementara, diketahui bahwa para jemaah membayar antara Rp139 juta hingga Rp175 juta kepada dua orang berinisial IA dan NF, yang merupakan pemimpin rombongan.
Baca Juga:
KJRI Gagalkan Aksi Nekat Puluhan WNI Berhaji Tanpa Visa Resmi di Jeddah
"IA dan NF yang memfasilitasi keberangkatan rombongan ini tidak menginformasikan ke para calon jemaah bahwa visa yang akan digunakan adalah visa kerja," jelas Yandri.
IA dan NF mengaku pernah memberangkatkan jemaah tahun sebelumnya, dan klaim keberhasilan itu menyebar dari mulut ke mulut, membuat banyak orang tertarik dan bersedia membayar mahal melalui PT NSMC.
"Tapi perusahaan itu bergerak di bidang event organizer, bukan biro travel," tegas Yandri.
Sesampainya di Tanah Suci, para jemaah disebut akan mengurus surat izin tinggal atau iqomah, yang memungkinkan mereka tetap berada di sana dan bahkan melaksanakan ibadah haji.
Saat ini polisi masih mendalami kemungkinan tindak pidana yang dilakukan IA (48 tahun) dan NF (40 tahun) serta peran masing-masing.
Jika terbukti bersalah, mereka dapat dijerat dengan Pasal 121 Jo Pasal 114 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, sebagaimana diubah dengan Pasal 125 Jo Pasal 118A UU Nomor 6 Tahun 2023.
"Dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp6 miliar," pungkas Yandri.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]