Tanpa memperhitungkan kategori pengelolaan hutan lain seperti hutan alam, izin pemanfaatan untuk perhutanan sosial, serta kemitraan kehutanan disebut ada 572 ribu hektar yang bisa digunakan masyarakat.
Dari survei yang dilakukan, menurutnya, tahun lalu lahan kering di Pulau Jawa saja, dalam area 60 km dari PLTU, tersedia lahan kering hingga 916 ribu hektar. Jika PLN mengimplementasikan kebijakan cofiring 5 persen pada 16 PLTU yang ada, disebut hanya akan memerlukan 189 ribu hektar.
Baca Juga:
Keandalan Listrik Bali Kelas Dunia dan Jarang Alami Gangguan, ALPERKLINAS Sebut 'Blackout Listrik Bali' Bukan Human Error
“Jika ditingkatkan persentase menjadi 10 persen sekitar 379 ribu hektar, artinya lahan masih cukup untuk pengembangan biomassa tersebut,” paparnya.
Ia pun memberi catatan bagaimana menggerakkan masyarakat agar mau membudidayakan tanaman energi seperti kaliandra, gamal, lamtoro, sengon, dan lainnya. Selain memikirkan pola tanam tumpang sari antara tanaman energi dan tanaman lainnya, keekonomian dari pasokan disebut juga penting.
Berikutnya, menciptakan ekosistem tanaman energi yang melibatkan masyarakat lewat kelompok tani, pihak pengolah yang bisa dari anak usaha PLN atau swasta, hingga akhirnya diterima oleh PLTU.
Baca Juga:
ALPERKLINAS Sebut 'Power Wheeling' Momok Buat Konsumen Listrik di Indonesia
“Ini yang menjadi concern PLN agar suplai biomassa berlanjut dari waktu ke waktu,” imbuynya.
Lebih lanjut, pihaknya menyebut telah melakukan analisa kelayakan dan keekonomian terhadap potensi kayu yang dinilai kompetitif bila ditanam dan dijual oleh petani.
Meski demikian, menurutnya tak kalah kebijakan pemerintah atau mekanisme dukungan yang dibutuhkan untuk menjalankan co-firing dengan biomassa.