Selama ini, tarif PLN
cenderung dikendalikan lewat subsidi pemerintah, padahal jika tarifnya
disesuaikan dengan inflasi dan perubahan energi primer, maka akan
berada di kisaran Rp 1.600 per KWh hingga Rp 1.800 per KWh.
Sementara itu, tahun lalu pemerintah
menggelontorkan subsidi listrik sektar Rp 79 triliun.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Jika tanpa subsidi, sudah seharusnya
tarif listrik PLN lebih tinggi 30% dibandingkan tarif listrik saat ini.
Sebagai informasi, Tarif listrik
pelanggan non-subsidi periode Januari-Maret 2021,
untuk pelanggan Tegangan Rendah (TR) seperti pelanggan rumah tangga dengan daya
1.300 VA, 2.200 VA, 3.500 sampai 5.500 VA, 6.600 VA ke atas, pelanggan
bisnis dengan daya 6.600 sampai 200 kVA, pelanggan pemerintah dengan
daya 6.600 sampai 200 kVA, dan penerangan jalan umum, tarifnya tidak naik atau
tetap, yakni sebesar Rp 1.444,70/kWh.
Sedangkan khusus untuk pelanggan rumah
tangga 900 VA-RTM, tarifnya tidak naik atau tetap, yakni sebesar
Rp 1.352/kWh.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Pelanggan Tegangan Menengah (TM)
seperti pelanggan bisnis, industri, pemerintah dengan daya >200 kVA, dan
layanan khusus, besaran tarifnya tetap, yakni sebesar Rp 1.114,74/kWh.
Sementara itu, mahal murahnya
pengembangan EBT disebabkan berbagai faktor.
Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap
(PLTU) menggunakan teknologi ultra
supercritical bisa mencapai US$ 2.000 kWh hingga US$ 3.000 kWh dengan
menggunakan teknologi untuk penurun emisi, dan bergantung pada regulasi lingkungannya.