WahanaNews.co | Banyaknya kasus hewan laut terluka dan mati saat terdampar di pantai, mendorong dokter hewan di Indonesia membentuk unit perawatan bernama sealife rehabilitation unit, yang baru saja diresmikan di Bali.
Unit perawatan tersebut merupakan akuarium rehabilitasi yang dapat digunakan para dokter hewan untuk melakukan perawatan, serta mengamati kondisi kesehatan satwa sebelum dilepaskan kembali ke laut.
Baca Juga:
Pemerintah Aceh Bagikan 7,5 Ton Ikan Segar Cegah Inflasi dan Stunting
Hal tersebut diungkapkan oleh dokter hewan yang tergabung dalam I AM Flying Vet (Indonesia Aquatic Megafauna-Flying Vet) drh I Wayan Yustisia Semarariana, M.Si pada talkshow bertajuk Kolaborasi dalam Penanganan Satwa Laut Terdampar dan atau Sakit, Selasa (21/12/2021).
Segala upaya tindakan medis dalam rangka merehabilitasi hewan-hewan yang terluka dapat dilakukan secara praktis karena semuanya sudah tersedia di unit itu, misalnya seperti pemeriksaan darah, USG (ultrasonografi), hingga rontgen.
"Dari tahun 2018 sampai 2021 ada 385 kasus hewan terdampar dan terluka. Hewan tersebut di antaranya penyu, lumba-lumba, dugong, paus, dan hiu paus, ada juga ikan (pari) manta. (Sebanyak) 30 persen hewan laut yang terluka masih dirawat," ujar pria yang akrab disapa Yus ini.
Baca Juga:
Program Makan Gratis, Menteri KKP: Menu Ikan Harus Disesuaikan dengan Wilayahnya
Untuk diketahui, I AM Flying Vet merupakan asosiasi Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia di bawah naungan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI).
Beberapa hal yang dilakukan dokter hewan yang tergabung dalam I AM Flying Vet, di antaranya:
1. Melakukan pengelolaan megafautik aquatik berupa pencegahan kejadian terdampar, penanganan mamalia laut sakit dan atau terdampar baik hidup ataupun mati, yang terjadi di berbagai wilayah pesisir Indonesia.
2. Melakukan diagnosis, merawat, serta melakukan penyelidikan post-mortem pada megafauna akuatik terutama pada kejadian terdampar.
3. Mendalami investigasi kematian dan mengungkap penyebab kejadian mamalia terdampar, untuk membuat rekomendasi pengelolaan kejadian mamalia laut terdampar ke depannya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Program Kelautan dan Perikanan WWF (World Wildlife Fund) Indonesia, Dr Imam Musthofa menjelaskan, sealife rehabilitation unit dibentuk karena rasa keprihatinan akibat seringnya hewan seperti hiu, penyu, dugong dan mamalia laut lainnya terdampar dan terluka.
Menurut dia, dengan adanya fasilitas kesehatan bagi megafauna akuatik ini, diharapkan pemantauan bagi spesies yang terluka akan lebih optimal.
"Ini kan sebuah ancaman yang cukup besar dan perlu dukungan banyak pihak. Ketika hewan terdampar kaya kemarin kasus yang di Madura ada 20 spesies lebih yang terdampar," ujar Imam.
"Nah mungkin kalo kita punya rehabilitation center, punya SDM terutama dokter hewan mungkin kita bisa cepet tanganin dan kemungkinan meningkatkan daya hidup hewan," lanjutnya.
Di sisi lain, WWF mencatat dalam kurun waktu satu tahun, ratusan hewan laut terdampar dan terluka.
Maka keberadaan relawan untuk membantu memulihkan kondisi hewan-hewan yang terluka atau trauma setelah terdampar dinilai sangat dibutuhkan.
Megafauna Akuatik Perlu Dilindungi dan Dilestarikan
Megafauna akuatik yang berasal dari golongan reptilia (penyu), elasmobranch (hiu dan pari) serta mamalia laut (duyung, paus, dan lumba-lumba), merupakan kelompok satwa yang rentan akibat tekanan terhadap populasinya.
Imam menyebut, megafauna akuatik adalah salah satu rantai makanan. Maka, jika mereka hilang berarti rantai makanan di bawahnya akan terpengaruh dan akhirnya akan mati karena ketidakseimbangan yang terjadi.
Hal ini lah yang menjadi alasan mengapa megafauna akuatik perlu dilindungi dan dilestarikan.
"Misalkan lumba-lumba sekali beranak bisa dihitung dengan jari tidak puluhan, karena mamalia. Artinya di sana rentan kalau populasinya terlalu tertekan atau mati, karena alam atau terjerat alat tangkap," jelas Imam.
"Jangan sampai spesies ini hilang dari muka Bumi karena secara tidak langsung manusia justru akan ikut menderita," pungkasnya. [rin]