WAHANANEWS.CO, Jakarta - Setelah diguyur hujan berkepanjangan akibat La Nina, Indonesia kini memasuki babak baru dalam siklus iklimnya.
Transisi menuju musim kemarau telah dimulai, membawa harapan sekaligus tantangan bagi berbagai sektor kehidupan, mulai dari pertanian hingga penanggulangan bencana.
Baca Juga:
Bibit Siklon Berpotensi Jadi Badai, BMKG Siaga Hadapi Pergerakan 96S
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengumumkan bahwa fenomena La Nina yang sempat mendominasi pola cuaca Indonesia, resmi bertransisi ke fase netral sejak Maret 2025.
Artinya, Indonesia mulai memasuki Musim Kemarau per April 2025.
BMKG memprediksi musim kemarau tahun ini akan berkembang secara bertahap dari April hingga Juni, meliputi sekitar 402 zona musim (ZOM) atau sekitar 57,7% wilayah di Indonesia.
Baca Juga:
Tanam Padi Serentak di Ogan Ilir, Langkah Nyata Menuju Swasembada Pangan
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menegaskan bahwa musim kemarau 2025 secara umum akan berjalan dalam kondisi iklim yang tergolong normal.
Meski demikian, hujan tetap bisa terjadi, terutama di beberapa wilayah dengan sifat musim kemarau yang cenderung di atas normal.
“Tidak ada dominasi fenomena iklim global seperti El Nino, La Nina, maupun Indian Ocean Dipole (IOD), sehingga iklim tahun ini diperkirakan normal. Kondisinya tidak sekering tahun 2023 yang saat itu menyebabkan banyak kebakaran hutan. Musim kemarau 2025 kemungkinan besar akan menyerupai pola musim kemarau tahun 2024,” ujar Ardhasena, beberapa waktu lalu.
Kendati sebagian besar ZOM diprediksi mengalami kondisi normal, terdapat sebagian kecil wilayah yang akan mengalami musim kemarau dengan sifat lebih kering dari biasanya atau sifat bawah normal.
BMKG mencatat, sekitar 14% ZOM diperkirakan mengalami kondisi ini, sehingga cuaca di wilayah tersebut akan terasa lebih panas dari biasanya.
Beberapa wilayah yang masuk kategori lebih kering meliputi Sumatera Utara, sebagian kecil Kalimantan Barat, sebagian wilayah Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan wilayah selatan Papua.
Puncak musim kemarau tahun ini diperkirakan terjadi antara Juni hingga Agustus di sebagian besar ZOM.
Bahkan, BMKG mencatat bahwa puncaknya bisa datang lebih awal dibandingkan biasanya di sejumlah wilayah.
Wilayah-wilayah seperti Lampung bagian timur, pesisir utara Jawa bagian barat, pesisir Jawa Timur, sebagian Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah mulai merasakan dampak musim kemarau sejak April ini.
Memasuki bulan Mei, kemarau diprediksi meluas mencakup sebagian kecil Sumatera, sebagian besar wilayah Jawa Tengah hingga Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Bali, serta bagian selatan Papua.
Untuk wilayah timur Indonesia seperti Maluku dan Papua, musim kemarau baru diperkirakan akan dimulai pada bulan Agustus 2025.
Secara keseluruhan, musim kemarau tahun ini diprediksi akan memasuki sekitar 409 ZOM atau 59% wilayah Indonesia, dengan waktu kedatangan yang sama atau lebih lambat dari biasanya.
BMKG juga melaporkan bahwa sekitar 60% ZOM akan mengalami curah hujan dengan intensitas normal, mirip dengan pola musim-musim kemarau tahun-tahun sebelumnya.
Namun demikian, sekitar 26% ZOM diperkirakan mengalami musim kemarau dengan curah hujan musiman yang lebih tinggi dari biasanya atau sifat atas normal.
Wilayah-wilayah yang diperkirakan mengalami kondisi atas normal ini meliputi sebagian kecil Aceh, sebagian besar Lampung, wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTB, NTT, sebagian kecil wilayah Sulawesi, serta sebagian wilayah tengah Papua.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengingatkan bahwa sektor pertanian perlu bersiap menghadapi variasi musim kemarau ini.
Ia mengimbau agar petani dapat menyesuaikan jadwal tanam sesuai kondisi daerahnya.
Penggunaan varietas tanaman yang tahan terhadap kekeringan serta pengelolaan air secara optimal sangat dianjurkan di daerah-daerah yang diprediksi mengalami kekeringan.
Sementara itu, wilayah yang mengalami musim kemarau lebih basah bisa memanfaatkannya dengan memperluas lahan pertanian, seperti sawah, demi meningkatkan produksi pangan nasional.
BMKG juga menyoroti pentingnya kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama di wilayah yang memiliki sifat musim kemarau normal hingga kering.
Terkait durasi musim kemarau, BMKG memprediksi adanya variasi yang cukup signifikan. Sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami musim kemarau yang lebih singkat dari biasanya.
Durasi terpendek, yakni sekitar enam dasarian atau dua bulan, akan terjadi di beberapa bagian wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Sementara itu, durasi terpanjang, hingga 24 dasarian atau delapan bulan, diperkirakan terjadi di sebagian wilayah Sulawesi.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]