WAHANANEWS.CO, Jakarta - Indonesia bersiap menghadapi periode panas ekstrem yang diperkirakan akan terjadi setelah Hari Raya Idulfitri 2025.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan peringatan resmi bahwa kondisi cuaca diprediksi menjadi sangat terik seiring masuknya musim kemarau yang berlangsung secara bertahap mulai Maret hingga April.
Baca Juga:
Tapanuli Utara Diguncang Gempa Magnitudo 4,0, BMKG Ungkap Hal Ini
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa periode panas ini terjadi setelah berakhirnya fenomena La Nina, yang selama ini memberikan efek pendinginan dan curah hujan tinggi di sejumlah wilayah Indonesia.
"La Nina sudah berakhir. Ini artinya musim kemarau akan kembali normal. Kita harapkan cuaca tetap kondusif untuk aktivitas masyarakat," kata Dwikorita dalam keterangan resminya.
Berdasarkan hasil pemantauan BMKG, indeks Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) menunjukkan kondisi netral.
Baca Juga:
Waspada Banjir, Ini Tips Amankan Listrik saat Air Masuk Rumah
Pada dasarian pertama Maret 2025, indeks IOD tercatat sebesar -0.31, yang menandakan tidak adanya pengaruh kuat dari lautan Hindia terhadap iklim regional.
Kondisi ini diperkirakan akan bertahan hingga pertengahan tahun.
Sementara itu, suhu muka laut (SST) di wilayah Nino 3.4 terpantau menunjukkan anomali sebesar 0.30.
Ini juga menjadi indikasi bahwa ENSO dalam posisi netral, dan tidak memicu anomali iklim seperti El Nino atau La Nina hingga semester kedua 2025.
Dwikorita mengungkapkan bahwa transisi ke musim kemarau berkaitan erat dengan pergeseran angin monsun.
"Musim kemarau biasanya dimulai ketika angin monsun Asia mulai beralih menjadi monsun Australia, yang membawa udara kering dari benua Australia menuju Indonesia," tuturnya.
Wilayah yang lebih dulu memasuki musim kemarau pada April antara lain Lampung bagian timur, pesisir utara Jawa Barat, pesisir timur Jawa Timur, sebagian Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
Sementara itu, pada Mei, cakupan wilayah kemarau diprediksi meluas ke sebagian Sumatra, hampir seluruh Jawa Tengah hingga Jawa Timur, sebagian Kalimantan Selatan, Bali, dan Papua bagian selatan.
BMKG meminta sektor pertanian untuk menyesuaikan pola tanam dan memilih varietas tanaman yang tahan terhadap kekeringan.
Pengelolaan air juga harus dioptimalkan, terutama di daerah yang diperkirakan mengalami kemarau kering.
“Bagi daerah yang mengalami musim kemarau lebih basah dari biasanya, justru bisa dimanfaatkan untuk memperluas area sawah demi meningkatkan hasil panen,” ujar Dwikorita.
Sementara itu, dalam sektor kebencanaan, BMKG menekankan pentingnya kesiapsiagaan terhadap potensi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama di wilayah dengan curah hujan yang rendah selama musim kemarau.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menegaskan bahwa musim kemarau tahun ini dipengaruhi oleh kondisi iklim global yang netral.
Artinya, tidak ada gangguan dari El Nino, La Nina, maupun IOD. Namun, bukan berarti hujan akan benar-benar hilang.
“Beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik musim kemarau yang tetap menerima curah hujan di atas rata-rata. Jadi bukan tidak mungkin terjadi hujan lokal yang signifikan di tengah kemarau,” jelas Ardhasena.
Ia menambahkan bahwa musim kemarau 2025 diperkirakan akan mirip dengan kemarau 2024, dan jauh lebih ringan dibandingkan tahun 2023, yang kala itu dipengaruhi oleh El Nino dan menyebabkan banyak kejadian karhutla di berbagai daerah.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]