WAHANANEWS.CO, Jakarta - Fenomena suhu panas kembali mencuri perhatian publik, terutama ketika Indonesia memasuki masa peralihan dari musim hujan menuju musim kemarau.
Dalam periode transisi ini, banyak wilayah mengalami peningkatan suhu udara yang cukup mencolok.
Baca Juga:
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Wilayah Perairan Danau Toba
Salah satu lokasi yang mencatat suhu ekstrem adalah Tanah Merah di Papua Selatan, yang berhasil mencatatkan suhu tertinggi nasional selama pergantian musim tahun ini.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi bahwa Tanah Merah mencatat suhu maksimum mencapai 37 derajat Celsius pada hari Senin (21/4/2025).
Catatan ini menjadikannya wilayah dengan suhu tertinggi di Indonesia dalam masa transisi musim kali ini.
Baca Juga:
Cuaca Panas Menggila, BMKG: Indonesia Masuki Peralihan Menuju Kemarau
Deputi Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, menjelaskan bahwa meskipun suhu mencapai 37 derajat, kelembapan udara di Tanah Merah saat itu berada di angka 60 persen.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun udara tidak terlalu kering, tetap terjadi pemanasan ekstrem di permukaan.
"Dengan tingkat kelembapan yang sedang, tanah di wilayah ini memanas lebih cepat, menyebabkan suhu udara naik secara drastis," ujar Andri saat diwawancarai oleh Kompas.com pada Rabu (30/4/2025).
Ia menegaskan bahwa fenomena panas seperti ini bersifat sementara, dan suhu di wilayah Papua Selatan diperkirakan kembali normal dalam beberapa hari setelahnya.
Mengapa Suhu Tanah Merah Bisa Mencapai 37°C?
Andri menjabarkan sejumlah penyebab yang berkontribusi terhadap naiknya suhu ekstrem di Tanah Merah. Pertama adalah langit yang cerah tanpa banyak tutupan awan, sehingga radiasi matahari dapat mencapai permukaan bumi secara maksimal tanpa hambatan.
“Kondisi ini memungkinkan sinar matahari langsung menyinari permukaan tanah,” jelasnya.
Faktor kedua adalah karakteristik tanah di Tanah Merah yang cenderung mudah menyerap dan melepaskan panas, mempercepat proses pemanasan di siang hari.
Faktor ketiga adalah minimnya angin, yang menyebabkan panas terjebak dan tidak tersebar, sehingga suhu permukaan meningkat signifikan.
BMKG mencatat bahwa suhu udara di Tanah Merah mengalami fluktuasi sejak tanggal 28 April hingga 1 Mei 2025. Pada Senin hingga Selasa (28–29 April 2025), suhu tercatat sebesar 33,2°C.
Kemudian naik menjadi 35,5°C pada Selasa hingga Rabu (29–30 April 2025), lalu sedikit turun menjadi 33,4°C pada Rabu hingga Kamis (30 April–1 Mei 2025).
Berapa Suhu yang Dianggap Normal di Indonesia?
Andri menyatakan bahwa suhu di kisaran 35 hingga 36 derajat Celsius masih dikategorikan normal untuk wilayah Indonesia, berdasarkan data suhu maksimum harian sepanjang tahun 2024 hingga awal 2025.
Naiknya suhu udara biasanya terjadi pada masa transisi musim, yaitu pada bulan Maret hingga Mei, serta September hingga November, ketika posisi semu Matahari berada lebih dekat dengan garis khatulistiwa (ekuator).
Pada periode ini, intensitas penyinaran matahari meningkat drastis, ditambah dengan cuaca siang hari yang cenderung cerah.
"Kombinasi faktor-faktor tersebut menyebabkan suhu maksimum harian naik, tetapi tidak termasuk anomali ekstrem dibandingkan dengan data historis BMKG," ungkap Andri.
Ia menambahkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia saat ini memang sedang berada dalam fase peralihan musim, dari hujan ke kemarau.
Situasi ini biasanya ditandai dengan cuaca yang terik sejak pagi hingga siang, dan disusul oleh kemungkinan hujan lokal pada sore atau malam hari.
Peningkatan suhu juga dipengaruhi oleh gerak semu Matahari yang kini berada di dekat ekuator dan terus bergerak ke arah utara.
Posisi deklinasi Matahari terakhir tercatat di 11,2 derajat lintang utara, yang menjadikan wilayah Indonesia mendapatkan penyinaran maksimal.
"Gerak semu Matahari akan mencapai titik balik utara pada akhir Juni 2025," tambahnya. Seiring pergeseran tersebut, suhu panas yang saat ini dirasakan akan berangsur menurun menjelang pertengahan tahun.
Bagaimana BMKG Mengamati Suhu Udara Tinggi?
BMKG mengoperasikan jaringan pengamatan cuaca dan iklim yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Sistem ini mencakup stasiun cuaca otomatis, radar cuaca, serta dukungan dari satelit, yang secara keseluruhan memungkinkan pemantauan kondisi atmosfer hingga skala lokal.
Meski demikian, Andri mengakui bahwa tantangan masih ada. Dengan luasnya wilayah Indonesia serta kondisi geografis yang beragam, distribusi alat pengamatan belum sepenuhnya merata di seluruh daerah.
Namun, keterbatasan tersebut dapat diatasi dengan pemodelan cuaca numerik serta dukungan kemampuan analisis dari para prakirawan cuaca BMKG.
Dengan pendekatan tersebut, informasi cuaca yang dihasilkan tetap dapat mewakili kondisi yang relevan untuk kebutuhan publik dan pengambilan keputusan oleh pemerintah.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]