WahanaNews.co | Pemerintah berencana menerapkan
teknologi Weight in Motion (WIM) dan overdimension detection sebagai soluasi
untuk menekan laju kendaraan bermuatan lebih dan berdimensi lebih atauOver Dimension Over Load (ODOL) di jalan
tol.
Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, mengatakan, hingga saat ini,
teknologi WIM masih dalam proses pengembangan dan ditargetkan dapat digunakan
pada 2023 mendatang.
Baca Juga:
Tinjau Tol Solo - Yogyakarta, Menteri Dody: Segmen Klaten - Prambanan Dibuka Fungsional Mendukung Kelancaran Nataru 2025
"Sehingga, 1
Januari 2023, sudah mulai ada penindakan pelanggar ODOL. Teknologi ini akan
terkoneksi dengan sistem penegakan hukum elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) dan dioperasikan oleh
Korlantas Polri," kata Basuki, dalam keterangan tertulis, Minggu (29/7/2021).
Menanggapi
hal itu, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi
Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, mengatakan, penyempuraan sistem dan teknologi sebagai upaya
menekan kendaraan barang ODOL di jalan tol telah banyak diterapkan di berbagai
negara.
Menurutnya,
hal paling penting dilakukan untuk menekan kendaraan ODOL adalah adanya
penegakan dan sanksi pidana maupun denda yang tinggi.
Baca Juga:
Perhatikan Aspek Keselamatan Pengendara, Pembangunan Jalan Tol Ciawi-Sukabumi Terus Dilanjutkan
"Jadi
tidak hanya sekedar penyempurnaan teknologi, tetapi juga harus diikuti dengan
penegakan hukum dan sanksi pidana tegas dan juga denda yang tinggi," kata
Djoko, dalam keterangannya yang diterima media, Minggu (22/8/2021).
Djoko
menjelaskan, di Indonesia, terdapat sekitar 90 persen lebih pengusaha besar pemilik
barang berkontrak dengan pengusaha pengangkut barang yang memiliki armada
berdimensi lebih (over dimension).
Kata
dia, tentunya semua armada truk yang berdimensi lebih itu tidak memiliki surat
uji berkala (kir) resmi.
"Artinya, ada unsur kesengajaan antara
pemilik barang dan pemilik kendaraan melakukan pelanggaran muatan lebih (overload) menggunakan kendaraan
berdimensi lebih itu," jelasnya.
Dari
hasil uji coba pemasangan weight in motion (WIM) di jalan tol yang telah
dilakukan, pemerintah menyimpulkan banyaknya kendaraan truk di jalan
tol yang melaju dengan kecepatan rendah.
Hal itu
tentu saja mengindikasikan masih banyaknya kendaraan ODOL yang melalui jalan
tol setiap harinya.
Di
samping itu, Djoko justru mempertanyakan komitmen dan ketegasan pemerintah
dalam memberikan sanksi kendaraan ODOL.
Karena, sanksi
ODOL masih sangat rendah dan tidak membuat jera para pengendara.
Padahal, secara
legalitas, kecepatan di ruas tol itu antara 60 sampai 100 kilometer per
jam.
Akan
tetapi, kenyataannya, kecepatan di bawah itu tidak pernah ada tindakan hukum,
meskipun data dari speed camera sudah
bisa membuktikan sampai dengan plat tanda nomor kendaraan bermotornya.
Pasalnya,
para pelaku bisnis sengaja melebihkan muatan kendarannya dengan tujuan untuk
menekan biaya logistik.
Padahal,
tindakan yang dianggap menguntungkan oleh para pelaku bisnis itu ternyata
merugikan dan berisiko, terutama bagi para pengguna jalan tol dan tentu saja
pemerintah sebagai pengelola jalan.
"Tidak
hanya berdampak pada tingkat kerusakan jalan, akan tetapi juga berpengaruh pada
kelancaran lalu lintas, keselamatan dan tingkat kecelakaan lalu lintas yang
semakin bertambah. Kementerian PUPR tahun 2017 itu pernah menyebutkan biaya
perawatan jalan di Indonesia itu capai Rp 47 triliun," tutur dia.
Tingginya
sanksi bagi ODOL yang diterapkan di berbagai negara, misalnya Korea Selatan, bagi
pelanggar yang memanipulasi alat dalam kendaraan dan tidak mematuhi aturan
beban akan diberikan sanksi penjara satu tahun dan denda sekitar 10 juta Won
atau setara Rp 145 juta.
Selain
itu, contoh lainnya yaitu Thailand, yang memberikan denda para pelanggar
ODOL sebesar 3.300 dollar AS atau sekitar Rp 47,8 juta.
Sementara
itu, berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan
Jalan(LLAJ) Pasal 307 menyebutkan bahwa bagi pengendara yang kelebihan
muatan maka akan disanksi berupa dua bulan kurungan penjara atau denda maksimal
Rp 500 ribu.
"Karena
itu, harus dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk menaikkan besaran sanksi denda
harus dilakukan supaya memberikan efek jera pelakunya," pungkasnya. [qnt]