Oleh ADIG SUWANDI
Baca Juga:
Petani Madura Gencar Budi Daya Porang Untuk Ekspor
EKSPOR perdana hasil panen porang berbentuk butiran seperti beras asal
Kabupaten Madiun menandai sukses awal pemanfaatan sumber daya lahan untuk
keperluan diversifikasi bahan pangan.
Kemampuan
tersebut diharapkan dapat mereduksi impor bahan pangan utama dan ketergantungan
karbohidrat secara berlebihan terhadap beras.
Baca Juga:
Libas Hama dan Penyakit, Kementan Galakkan Penggunaan Pestisida Nabati
Gerakan
diversifikasi pun sudah terlalu lama diintroduksikan, tetapi dalam praktik
tidak mudah dilakukan secara terintegrasi.
Selain kalah
pamor dibanding beras, tanaman lain dalam daftar prioritas juga tidak
mempertemukan kepentingan petani yang menginginkan harga kompetitif versus
pasar.
Tanpa
kepastian harga jual layak, tanaman lain sulit diharapkan bisa berkembang baik
meski diketahui nilai gizi dan kalorinya lebih dari beras.
Keberadaan
padi sebagai tanaman penghasil beras telah lama dikenal, bahkan bermetamorfosis
jadi bagian dari budaya hingga mengantarkannya pada komoditas bermuansa
politis.
Peningkatan
produksi beras dilakukan melalui berbagai metode, tetapi tetap saja berkejaran
dengan jumlah penduduk.
Negara
mengatur harga dasar (floor
price) pada level terjaga menguntungkan petani meski kadang tidak mudah
diwujudkan, selain menambal stok dari jalur impor apabila kondisi mencemaskan
bermuara tereskalasinya harga harus dibayar konsumen.
Pemahaman
kontekstual ekonomi beras begitu urgen guna mereformasi kebijakan teragendakan
lebih kompatibel terhadap kondisi obyektif, kebutuhan, dan ekspektasi publik.
Diversifikasi Pangan
Masih belum
lenyap dari memori kita tentang proyek mandiri energi berbasis jarak pagar.
Sosialisasi
teknik budidaya dilakukan agar petani dapat memanfaatkan setiap jengkal lahan
miliknya guna mendukung perluasan basis energi yang masih terlalu bias ke
minyak bumi, tetapi alpa menentukan harga jual jarak pagar secara wajar bagi
petani.
Proyek
tersebut pun berakhir gagal dan tidak jelas kelanjutannya.
Rendahnya
harga jual hasil panen yang tidak sebanding biaya produksi sekaligus kalah
kompetitif dibanding tanaman lain pada gilirannya membuat tidak layak secara
ekonomi.
Dalam konteks
porang yang berasal dari jenis umbi-umbian pun akan mengikuti alur pemasaran
produk tidak jauh berbeda meski pasar makin terkoneksi ke episentrum jaringan
global.
Artinya,
ekspor menjadi jauh lebih mudah, apalagi belum banyak kompetitor dari negara
lain masuk ke arena persaingan.
Kolaborasi
antara petani pengelola usaha tani dan pabrikan pengolah hasil panen hendaknya
didesain sesuai format kemitraan baru berdasarkan kesetaraan peran dan benefit
ekonomi diperoleh.
Dukungan
teknis dan fasilitasi bagi petani untuk bisa mengakses sumber-sumber pembiayaan
menjadi urgen terkait modal kerja dan ekspansi usaha.
Meskipun
perkiraan konsumsi beras per kapita kita telah turun ke arah 92 kilogram per
tahun, jauh meninggalkan possi 135 kiogram dalam seperempat abad terakhir,
angka tersebut masih terlalu besar.
Karena itu,
dengan makin terdesaknya lahan berpengairan teknis yang selama ini secara
bergiliran dialokasikan untuk budidaya padi dan palawija tergeser untuk
kepentingan industri, infrastruktur, dan pemukiman penduduk.
Tidak mudah
mencari kompensasi melalui pencetakan sawah baru lengkap dengan infrastruktur
fisik pendukungnya, seperti jalan, jembatan, bendungan, dan jaringan irigasi.
Kondisi tadi
belum termasuk tingkat kesuburan, kesesuaian lahan, dan daya dukung ekologi
bagi produktivitasnya secara berkelanjutan.
Lahan-lahan
subur, khususnya di Jawa, telah terkooptasi kepentingan non-pertanian sehingga
suka atau tidak suka negara mesti mengeksekusi pengembangan areal baru demi
menyangga ketahanan pangan (food security) di luar Jawa, termasuk food estate.
Penurunan
rata-rata luas kepemilikan lahan individual (individual holding capacity)
mengakumulasi keinginan
bagi pemiliknya untuk lebih memilih tanaman cepat menghasilkan dan mengendus
keuntungan berlimpah.
Harga jual
produk menjadi pertaruhan.
Tidak
mengherankan kalau kini areal persawahan yang secara historis digunakan untuk
budidaya padi dan tebu kini makin beragam peruntukannya.
Banyaknya
pabrik gula yang kekurangan areal dan jumlah tebu guna menopang operasional
produksinya, hingga berujung sebagian terpaksa dibeku-operasikan, menunjukkan
tingginya derajat pergolakan ekonomi petani guna mendapatkan hasil lebih dari
cara-cara konvensional.
Konsekuensi
logisnya, semua pihak mesti berbenah diri, mengantsipasi perubahan lingkungan
strategik, dan mereformulasi platform transformasi cara bertani menggunakan
basis agroteknologi terkini.
Diversifikasi
pangan akan berjalan otomatis dan simultan selama petani merasa pendapatan dan
nilai keuntungan diperoleh mampu meningkatkan kesejahteraan keluarga dan
menutup semua kebutuhan sekaligus tahapan awal menuju penguatan daya saing
produk lokal berperspektif global.
Opsi bebas
petani dalam memilih komoditas agribisnis yang dinilai paling profitable menggerakkan antusiasme ke sana, apalagi untuk jenis tanaman seperti porang dan
umbi-umbian lain yang sudah lama disiasati.
Tinggal
bagaimana negara dan korporasi mendesain diversifikasi agar tidak mengulangi
kegagalan masa lalu.
Agenda Kolaborasi
Di luar
domain ekspor, penting pula bagi Indonesua menggelorakan pemetaan ulang atas
kekuatan riil dan potensi tanaman penghasil pangan dalam konteks mencari substitusi
beras.
Sudah
telanjur salah ketika diversifikasi bergeser ke arah gandum yang notabene belum
dapat dibudidayakan di bumi tropika bernama Indonesia.
Ketergantungan
terhadap bahan pangan tertentu yang bertumpu impor secara ekologis akan membuat
bangsa ini rentan (vulnerable)
saat stok
dunia menipis menyusul risiko gagal panen, perang, dan perubahan geopolitik
kawasan.
Terganggunya
impor sejumlah komoditas di masa pandemi menyusul lockdown di sejumlah kota penting dunia mengharuskan bangsa ini semakin yakin
akan pentingnya kedaulatan pangan.
Hanya bangsa
berdaulat pangan piawai memainkan peran mencukupi kebutuhan masyarakatnya
terhindar dari bahaya laten kelaparan.
Porang
menjadi contoh nyata keunggulan kompetitif sumber daya ekonomi untuk mengakselerasi
terwujudnya kemandirian pangan dan kapabilitas mengekspor.
Pelajaran
dari masa lalu tentang korelasi erat antara petani penghasil produk dan
pabrikan pengolah hasil mengindikasikan prioritas atas transparansi,
akuntabilitas, dan responsibilitas di dalam mengelola aliansi strategik.
Dengan kata
lain, sejak awal harus sudah teragendakan format kolaborasi atau kemitraan
bersifat saling mendukung dan saling menguntungkan.
Melalui cara itulah pengembangan
produk bakal terakselerasi pula dengan hasil mampu memperluas pilihan bahan
pangan bagi bangsa sendiri, selain penajaman orientasi ekspor ke pasar global. (Adig Suwandi, Praktisi Agribisnis, Analis Senior Nusantara Sugar Community)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Dari Porang ke Daulat Pangan". Klik
untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/26/dari-porang-ke-daulat-pangan/.