WahanaNews.co | Anggota DPR RI Komisi X Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf Macan Efendi mengatakan kurikulum merdeka adalah kurikulum darurat. Pasalnya saat pandemi COVID-19 banyak keluhan dari masyarakat terutama yang terbebani dengan belajar online.
Diketahui, beberapa waktu lalu para siswa di Indonesia harus melakukan pembelajaran secara online saat pandemi COVID-19. Hal tersebut membuat pemerintah menggencarkan program kurikulum merdeka.
Baca Juga:
Siap Bertarung di Pilkada Serentak 2024, 19 Caleg Terpilih DPR RI Mengundurkan Diri
"Sementara harus mengejar sekian banyak kurikulum yang belum selesai, gurunya berat siswanya juga berat," ujar Dede, kepada awak media, di Soreang, Kabupaten Bandung, Sabtu (12/11/2022).
Pihaknya meminta pemerintah untuk melakukan pengurangan beban. Sehingga hampir 50 persen bobot pembelajaran bisa dikurangi.
"Nah, ternyata dua tahun pandemi, siswa merasa tidak terlalu dibebankan dengan beban kurikulum yang agak ringan dan outputnya dari hasil survei dari Kemendikbud, learning lost (kehilangan semangat atau waktu pembelajaran) itu bisa diturunkan sampai 40 persen," katanya.
Baca Juga:
Lolos ke Senayan di Pemilu 2024, Hinca Pandjaitan Sampaikan Terimakasih
Dede mengaku saat ini pemerintah telah meminta izin untuk penerapan kurikulum merdeka. Namun menurutnya hal tersebut harus dipertimbangkan kembali. Pasalnya ada beberapa daerah yang belum tentu siap.
"Kita lihat dari kasus penyebaran COVID-19 kemarin, ada daerah yang terkena sangat parah, ada juga yang landai. Maka, kita meminta, lakukan saja dulu internalisasinya kepada Sekolah Penggerak yang jumlahnya ada 2.000 lebih," jelasnya.
Dia menyebutkan dalam sekolah penggerak tersebut bisa menerapkan kurikulum prototype. Kemudian setelah menghasilkan satu angkatan bisa langsung dilakukan evaluasi.
"Apakah angkatan ini hasil outputnya menjadi lebih baik dari pada yang lain, dibanding dengan angkatan yang menggunakan kurikulum yang lain atau malah sama saja," ucapnya.
"Kalau memang baik, maka kita akan dorong secara bertahap agar dilakukan secara masif artinya dilakukan untuk seluruhnya, dengan cara adopsinya perlahan-lahan, dengan cara tadi ada daerah yang prasarananya serta infrastrukturnya yang tidak memungkinkan infrastrukturnya mengejar apa yang ada di Kota besar. Jadi membutuhkan effort dari Kementerian lainnya," tambahnya.
Selain itu, Dede mengungkapkan masih terdapat sekolah yang aksebilitasnya kurang. Diantaranya tidak memiliki buku, hingga sekolah roboh.
"Itu kan perlu diperhatikan bagaimana proses kurikulum mau berjalan, maka harus kita bagi," bebernya.
Maka dari itu, Dede mengungkapkan tiga klaster yang harus dilakukan dalam persoalan kurikulum saat ini. Salah satunya adalah sekolah di kota besar yang mampu menerapkan kurikulum tersebut.
"Lalu ada di Kluster B, itu sekolah yang sarana prasarananya perlu diperbaiki, perlu ditingkatkan untuk bisa mengadopsi kurikulum merdeka itu. Terakhir Kluster C, ini baru daerah-daerah yang memang perlu effort lebih lagi, karena tenaga pengajarnya masih sangat kurang. Nah, itu yang menjadi dorongan kita, bukan hanya dari sisi anggaran tapi kita juga mengevaluasi, tiap tahu kita evaluasi out put nya sampai mana," kata Dede.
Dia menambahkan hingga saat ini telah membuka anggaran untuk Sekolah Penggerak, dan Guru Penggerak. Bahkan kurikulum merdeka pun telah berjalan dan harus dievaluasi.
"Tahun depan lulusan dari Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak ini akan kita lihat dan kita akan uji publik, karena setiap daerah dan wilayah itu akan berbeda sarana dan prasarananya, jadi nanti akan ada Ban Smart nya," ucap Dede.
"Yang terakhir tadi Kluster C itu butuh perhatian karena selain infrastruktur ada juga Suprastruktur (guru), nah yang Kluster B itu butuh sarana prasarana, yang Kluster A itu kan tinggal mengadopsi saja," lanjutnya.
Dede menuturkan saat ini terdapat beberapa kasus di sekolah terkait adanya bullying. Bahkan hal tersebut bisa merambah ke arah kriminalitas.
"Itu harus diamati terjadi masalah apa, Beban dengan Akademik kah sehingga pembelajaran Akhlak dan sebagainya, Moral ini tidak lagi dipahami dan ditinggalkan, Atau disiplin guru gak berani negor murid karena takut di polisikan itu juga banyak faktor," tegasnya.
"Itu PR-nya Kemendikbud ya supaya kita melihat Outputnya, jadi jangan melihat konsep nya, tapi gak tahu dan gak jelas mau dibawa kemana, itu pentingnya peta jalan pendidikan tadi," tuturnya. [sdy]