WahanaNews.co | Pasca Amandemen IV UUD 1945 , pasal 18 secara tegas memaknai bahwa NKRI dibagi atas Provinsi dan Provinsi dibagi atas Kabupaten/Kota. Adapun makna sisi politik pemerintahan dalam konsepsi Otonomi daerah bahwa Provinsi adalah wakil Pemerintah Pusat.
Kemudian Provinsi menjadi pembina kab/kota, yang dalam tata kelolanya, kabupaten/kota tetap dalam ruang otonomi daerah dalam konsepsi NKRI yang dibina oleh pemerintah provinsi masing-masing daerah.
Baca Juga:
Pernyataan Ridwan Zega Klaim Menggiring Proyek Jalan Provinsi di Gunungsitoli Dinilai Kocak
Inilah dasarnya mengapa dalam pelantikan para kepala daerah di kabupaten/kota normatifnya dilantik oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan Menteri Dalam Negeri selaku pembantu tugas-tugas Presiden sebagai kepala pemerintahan didelegasikan untuk melantik para Gubernur.
Semua hal di atas menggambarkan tugas dan wewenang Menteri yang mengurus tata kelola pemerintahan dalam negeri.
Semua yang saya coba uraikan di atas adalah mekanisme pasca para kepala daerah ( red: Gubernur, bupati/walikota ) selesai proses politik ( pilkada ), yang diterima dari KPU sebagai hasil akhir pilkada untuk dibuatkan SK KDH terpilih.
Baca Juga:
Gubernur Serahkan Tunggul Terbaik Kecamatan Tingkat Provinsi Katagori Kabupaten Tahun 2023
Pertanyaannya, bagaimana jika Kepala Daerah sudah berakhir masa jabatannya (sesuai masa bakti yang ditentukan SK pelantikan, red) ? Tentu untuk kelanjutan tata kelola pemerintah daerah, sambil persiapan pilkada (serentak,red), maka pada pilkada 2024 yang akan datang, tentu akan banyak penunjukan oleh Menteri Dalam Negeri terhadap daerah-daerah untuk ditetapkan sebagai Kepala Daerah (Penjabat Gubernur dan Penjabat Bupati/Walikota, red) mengingat 2024 akan dilaksanakan Pilkada Serentak.
Deviasi Penunjukan Penjabat Gubernur dan Bupati/Walikota
Menjelang pilkada serentak 2024, cenderung inkonsistensi tata kelola pemerintah daerah sebagaimana peran Menteri Dalam Negeri pembina pemerintah daerah, karena makna penunjukan Penjabat Gubernur dan Bupati/Walikota diduga mengarah " kepentingan politik".