WahanaNews.co | PT Pertamina Gas Negara (PGN) pada tahun ini mulai menjalankan program konversi sebanyak 33 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) milik PT PLN ke gas.
Hal tersebut dilakukan guna merespons Keputusan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020 tentang Gasifikasi Pembangkit Tenaga Listrik.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Direktur Utama PGN, Muhamad Haryo Yunianto, mengatakan, awalnya akan ada 52 titik pembangkit yang masuk dalam penugasan penyediaan pasokan dan infrastruktur gas alam cair atau liquid natural gas (LNG).
Namun, perusahaan baru akan memulai program konversi ini untuk 33 titik pembangkit terlebih dahulu.
"Kami laporkan akhir Januari ini, kami sudah lakukan proses lelang supaya percepatan yang kita lakukan dari keterlambatan dua tahun bisa kita kejar," kata Haryo dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (18/1/2022) malam.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Haryo optimistis program konversi pembangkit listrik berbahan bakar minyak menjadi gas ini dapat selesai pada 2024.
Prioritasnya adalah 33 titik pembangkit yang berada di Indonesia Timur.
Sebelumnya, PLN menyebut program konversi 52 pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke gas hingga kini masih jalan di tempat.
Persoalannya adalah harga gas yang dikunci di angka US$ 6 per juta British thermal unit (mmbtu) tak ekonomis bagi PGN sebagai pemasok.
Direktur Perencanaan Korporat PLN, Evy Haryadi, mengatakan, pihaknya berkomitmen mengganti sejumlah pembangkit listrik berbahan bakar minyak (BBM) menjadi bahan bakar gas.
Pasalnya, konversi pembangkit diesel ke gas ini bertujuan untuk mengurangi biaya pembangkit PLN dan mengurangi impor BBM.
Namun, penggunaan unit regasifikasi seperti FSRU (floating storage regasification unit) milik PGN membuat biaya pembangkitan menjadi mahal.
Haryadi mengatakan, harga gas yang sudah dikunci di angka US$ 6 per mmbtu tidak wajar di fasilitas FSRU PGN.
Dia mengatakan, kondisi tersebut menjadi tantangan tersendiri dalam menjalankan program konversi.
"Mungkin ada insentif untuk harga FSRU sehingga harga midstream ini bisa lebih rendah untuk menggantikan diesel yang lebih murah," kata dia, beberapa waktu lalu. [dhn]