WahanaNews.co | Eks Direktur Utama PT Pelindo II, Richard
Joost Lino alias RJ Lino, akhirnya ditahan KPK setelah lima
tahun menyandang status sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan tiga unit quay container crane (QCC) pada 2010.
KPK menetapkan Lino sebagai tersangka
pada Desember 2015 dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang karena menunjuk
perusahaan asal Cina, Wuxi HuaDong Heavy Machinery (HDHM), dalam pengadaan tiga
QCC di Pelabuhan Palembang, Pontianak, dan Panjang, Lampung.
Baca Juga:
Terhadap Putusan RJ Lino KPK Ajukan Banding
Selain karena penunjukan tanpa melalui
proses lelang, KPK juga menilai pengadaan tiga unit QCC tersebut tidak
disesuaikan dengan persiapan infrastruktur yang memadai (pembangunan power house), sehingga
menimbulkan inefisiensi.
Namun, jauh sebelum terseret kasus
tersebut, kinerja Lino sebagai Dirut sudah banyak dikritisi oleh Serikat
Pekerja (SP) Pelindo II.
Dihimpun dari berbagai sumber, pada
Maret 2014, ketika Lino diangkat kembali sebagai Dirut untuk kedua kalinya,
serikat pekerja mengirimkan surat keberatan kepada Menteri BUMN kala itu, Dahlan Iskan.
Baca Juga:
Vonis RJ Lino Majelis Beda Pendapat, Ini Pertimbangan Hakim Ketua
Surat tersebut juga diikuti dengan
sederet dugaan penyalahgunaan wewenang sang Dirut.
Selain soal penggandaan tiga QCC dari
HDHM, Lino juga diduga melakukan pelanggaran terkait pengadaan 10 unit mobil crane dengan menunjuk langsung vendor
asal Cina, Guangxi Narishi Century.
Pada proyek pembangunan Terminal
Kalibaru dengan biaya sebesar Rp 46 triliun, Lino pun disorot karena
tidak profesional dan komprehensif terkait disain yang terus berubah-ubah yang memicu
naiknya biaya investasi.
Akibatnya, Pelindo II harus mencari
dana talangan (bridging finance) dari
Bank Mandiri dan Bank BNI sebesar Rp 4 triliun, yang akan jatuh tempo
Agustus 2014.
Sementara perusahaan dikhawatirkan
tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut.
SP Pelindo II juga menyoroti keputusan
Lino merekrut staf ahli/khusus Farid Harianto sebagai Advisor Bidang
Perencanaan Strategi Keuangan Pelindo II dengan gaji sebesar US$ 25 ribu
per bulan.
Selain itu, Lino mengangkat Nina
Insania dari LPPM sebagai penasehat bidang SDM dengan imbalan sebesar Rp 100 juta
per bulan, ditambah dengan tunjangan dan fasilitas kesehatan, kendaraan dinas
dan sopir.
Menurut Serikat Pekerja, perilaku Lino membawa orang dengan gaji jumbo itu melanggar
Peraturan Menteri BUMN tentang larangan bagi Direksi BUMN, Dewan Komisaris atau
Dewan Pengawas untuk mempekerjakan staf ahli namun terbukti tidak berkualitas.
Meski demikian, kinerja Lino di
Pelindo II bukan tanpa prestasi.
Ia bahkan pernah masuk dalam daftar 41
orang yang dipertimbangkan Presiden Joko Widodo untuk menjadi menteri pada
2014. [dhn]