WAHANANEWS.CO, Jakarta - Media sosial belakangan ini diwarnai dengan fenomena Brain Drain yang melibatkan Warga Negara Indonesia (WNI) yang memilih untuk tinggal dan berkarya di luar negeri.
Fenomena ini menggambarkan pergerakan para ilmuwan, intelektual, dan cendekiawan yang meninggalkan negara asal mereka untuk mencari peluang yang lebih baik di negara lain.
Baca Juga:
WNI Ramai-ramai Jadi Warga Singapura, Ini Alasannya
Mengutip dari laman resmi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Brain Drain terjadi ketika individu berbakat memilih untuk menetap di luar negeri dengan alasan yang beragam, mulai dari faktor politik, ekonomi, sosial budaya, hingga pilihan hidup.
Banyak dari mereka merasa bahwa di negara asal, kesempatan untuk berkembang dan berkarya terbatas.
Dalam kajian UPI, fenomena Brain Drain dalam jumlah besar dapat berisiko merugikan negara asal karena potensi sumber daya manusia terbaik yang hilang.
Baca Juga:
PAOCC Tangkap 30 WNI di Filipina, Diduga Terlibat Sindikat Penipuan
Sebaliknya, negara yang menjadi tujuan justru diuntungkan dengan kedatangan individu-individu berbakat ini.
Fenomena Brain Drain bukan hal baru di Indonesia. Pada tahun 1965, saat pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru, banyak mahasiswa yang kuliah di Rusia atau Eropa Timur memutuskan untuk tidak kembali ke tanah air.
Di tahun 1980-an, saat Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie mengirim banyak remaja potensial ke luar negeri, sebagian besar dari mereka memilih untuk tinggal dan bekerja di luar negeri, terutama di Amerika Serikat.