WahanaNews.co | Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, mengatakan, larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng berdampak di dalam negeri, baik dari segi pasokan maupun harga.
“Tentu saja akan terjadi banjir produksi CPO di dalam negeri. Pada tahun 2021, total produksi CPO Indonesia diperkirakan mencapai 46,89 juta ton, sementara konsumsi nasional untuk agrofuel dan pangan diperkirakan 16,29 juta ton. Artinya terdapat 30 juta-an ton yang selama ini dialokasikan untuk diekspor,” ujarnya, dikutip Selasa (26/4/2022).
Baca Juga:
Larangan Ekspor CPO Dicabut, Menteri Perdagangan Keluarkan Aturan Baru Jaga Pasokan Minyak Goreng
Henry menegaskan, kebijakan tersebut tak hanya berdampak pada perusahaan kelapa sawit besar, namun juga berdampak kepada petani sawit anggota SPI.
"Hari ini hasil laporan petani anggota SPI di berbagai daerah seperti Riau, Sumatera Utara, harga tandan buah segar (TBS) sawit seharga Rp 1.700 - Rp 2.000 per kilogram, sudah terkoreksi ada yang 30 persen, bahkan sampai 50 persen," katanya.
Henry menyampaikan, kebijakan pemerintah ini harus diikuti dengan kebijakan turunan selanjutnya yang bisa menjamin harga tbs petani sawit tetap layak.
Baca Juga:
Total Rp 900 Miliar Kerugian Petani Sawit di Jambi Selama Larangan Ekspor
“Perkebunan sawit harus diurus oleh rakyat, didukung oleh pemerintah dan BUMN, bukan oleh korporasi,” tegasnya.
Henry memaparkan, saat ini korporasilah yang menguasai perkebunan sawit di Indonesia.
“Perkebunan sawit korporasi telah mengubah hutan menjadi tanaman monokultur, menghilangkan kekayaan hutan kita, juga sumber air berupa rawa-rawa, sungai dan sumber-sumber air lainnya. Korporasi sawit juga terbukti telah menggusur tanah petani, masyarakat adat dan rakyat, sampai merusak infrastruktur di daerah,” paparnya.
“Sudah benar kebijakan moratorium sawit yang melarang perluasan izin perkebunan sejak tahun 2017-2019, di mana ditemukan ada 1,7 juta hektar lebih perusahaan sawit yang melampaui HGU yang mereka miliki dan 3 juta hektar sawit di dalam kawasan hutan,” sambungnya.
Henry juga menyinggung kesejahteraan buruh-buruh korporasi sawit yang ditelantarkan.
Dia mengatakan, kehadiran korporasi sawit sering mengabaikan izin-izin yang ada, ilegal, dan terjadi kasus pelanggaran kewajiban pajak yang harus dibayarkan kepada negara.
Oleh karena itu Henry menyampaikan, perkebunan sawit harus di diserahkan pengelolaannya kepada petani dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya.
“Negara harus berperan dalam transisi ini dengan melaksanakan reforma agraria, tanah perkebunan atau pribadi yang luasnya di atas 25 hektar dijadikan tanah obyek reforma agraria (TORA),” tegasnya.
Henry melanjutkan, negara jugalah melalui BUMN yang mengurus turunan strategis produksi sawit, seperti agrofuel atau kepentingan strategis lainnya.
“Korporasi swasta bisa diikutkan di urusan pengolahan industri lanjutan, misalnya untuk pabrik sabun, kosmetik, obatan-obatan, dan usaha-usaha industri turunan lainnya,” katanya.
Henry menambahkan, hasil pajak ekspor dan pengutipan hasil perdagangan internasional bisa digunakan untuk proses transisi pengelolaan sawit dari korporasi ke petani dan negara.
“Luas dan produksi sawit kita harus menghormati dan melindungi kedaulatan pangan negara lain, negara yang mengimpor produksi sawit,” kata dia.
Dampak Perang Rusia-Ukraina
Selain menghadapi larangan ekspor CPO dan minyak goreng, turunnya harga CPO dunia juga dipengaruhi konflik di Ukraina.
Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) mulai menyuarakan kesulitan mereka lantaran mulai banyak pabrik pengolah kelapa sawit yang tutup akibat invasi Rusia ke Ukraina.
Tutupnya pabrik tersebut, tak pelak membuat para petani sawit yang panen tak dapat mengantongi keuntungan.
"Sejumlah pabrik kelapa sawit di 22 provinsi tutup dengan akibat sawit petani tidak bisa diolah. Truk-truk berisi sawit antre di pabrik-pabrik kelapa sawit yang tutup," ungkap Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Manurung, dalam keterangannya.
Ditambah lagi, harga pupuk kelapa sawit katanya melejit sehingga membuat petani sawit makin resah.
Padahal lanjut Gulat Manurung, harga jual minyak mentah kelapa sawit lagi moncer.
Untuk mengatasi kesulitan para petani sawit, Apkasindo berharap pemerintah mau mengabulkan permintaan petani sawit untuk memberikan subsidi pupuk yang kini harganya menguras kantong.
Meski tak disebutkan detil harga jual pupuk non-subsidi untuk kelapa sawit di pasaran.
"Petani resah dan bisa rusuh kalau tidak ada solusi. Ini menjelang Lebaran, petani butuh uang. Harga sawit sedang bagus dan mereka butuh mengompensasi harga pupuk yang naik tajam karena masalah logistik global dan seretnya pasokan akibat perang Ukraina-Rusia," ungkap dia.
Biarkan Buah Sawit Membusuk
Sementara itu, para petani di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, sengaja tidak memanen kelapa sawit dan membiarkannya membusuk di pohon.
Menurut Jaurat Nainggolan, seorang petani kelapa sawit di Kecamatan Air Periukan, Kabupaten Seluma, hal itu dilakukan lantaran harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit anjlok hingga Rp 950 per kg.
"Ada puluhan hektar kebun sawit yang buahnya siap panen, tidak dipanen petani karena tidak kembali modal panen," kata Jaurat.
Menurutnya, harga saham TBS anjlok dalam sepekan terakhir.
Padahal sebelumnya, harga TBS sempat mencapai level tertingginya, yaitu Rp 3.200 per kg, tepatnya pada Maret dan awal April.
Ia pun menyayangkan jatuhnya harga buah sawit, apalagi sekarang menjelang Hari Raya Idulfitri.
Asmadi, petani sawit asal Kecamatan Ilir Talo, Seluma, mengatakan, petani membatalkan panen buah sawit karena tak ada dana.
Sedangkan buah yang terlanjur dipanen, terpaksa dijual dengan harga murah pada pengepul.
"Bagi buah yang telanjur dipanen maka dijual murah. Sementara buah yang belum dipanen, dibiarkan membusuk di batang," ucap Asmadi.
Ia menyampaikan, mulai Rabu (27/4/2022) ini, semua pabrik kelapa sawit di Provinsi Bengkulu tutup alias berhenti beroperasi hingga setelah Lebaran. [gun]