"Setiap potongan US$50/MT menggerus harga TBS (tandan buah segar) sebesar Rp350/kg. Artinya, dengan potongan US$190/MT, petani kehilangan sekitar Rp1.500/kg," paparnya.
"Harga TBS yang saat ini hanya sekitar Rp3.500/kg, seharusnya bisa mencapai Rp5.000/kg jika tidak ada pungutan tersebut.
Baca Juga:
Optimalkan BPDPKS, Petani Kelapa Sawit Raih Keuntungan dari Harga TBS
Kondisi ini adalah strategi struktural yang memiskinkan petani dan harus segera dihentikan," desak Mansuetus.
Di sisi lain, dia juga menyebut nasionalisasi melalui Agrinas adalah Reforma Agraria yang dipelintir.
"POPSI juga menyoroti langkah pemerintah melalui Agrinas (PT Agro Industri Nasional) yang mengambil alih dan mengelola kebun sawit, termasuk sawit sitaan yang berada dalam kawasan hutan. Tidak ada proses negosiasi dengan petani yang selama ini menggantungkan hidup dari tanah tersebut. Tidak ada studi yang mendalam, mengapa masyarakat menduduki tanah kawasan hutan tersebut," tukasnya.
Baca Juga:
Peran Strategis BPDPKS: Pendorong Harga TBS dengan Program Berkelanjutan
"Reforma agraria sejati seharusnya mengembalikan tanah kepada petani dan masyarakat adat, bukan mengganti tuan lama dengan tuan baru AGRINAS dengan embel-embel kepentingan negara. Mengelola sawit sitaan tanpa melibatkan petani kecil tanpa redistribusi tanah sama saja dengan nasionalisasi korporatis, bukan reforma agraria," ucap Mansuetus.
POPSI juga mempertanyakan kejelasan janji pemerintah mempercepat sertifikasi ISPO untuk petani.
"Petani justru dibebani kewajiban ISPO tanpa dukungan, sementara biaya sertifikasi sangat mahal. Tanpa dukungan finansial dan kelembagaan yang nyata, ISPO hanya menjadi alat diskriminasi terhadap petani sawit rakyat," cetusnya.