WAHANANEWS.CO, Jakarta - Wakil Ketua MPR RI dari Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi para penulis Indonesia, mulai dari isu plagiarisme, royalti, hingga keterbatasan hibah literasi dan ketersediaan buku bacaan.
Dalam Audiensi dengan penulis perempuan muda Indonesia bertema 'Ibu Punya Mimpi, Perempuan Berkisah: Penulis Indonesia Mendunia Tak Terbatas' yang digelar di Gedung MPR RI pada Rabu (12/3/2025), Ibas mengungkapkan bahwa menulis di era digital bukanlah hal mudah.
Baca Juga:
Kongres VI Partai Demokrat Putuskan AHY Kembali Jadi Ketua Umum
lah satu tantangan terbesar adalah rendahnya tingkat literasi. Menurut data UNESCO tahun 2021, Indonesia menempati peringkat 100 dari 208 negara dalam hal literasi.
Hal ini menunjukkan masih kurangnya minat baca yang berdampak pada rendahnya apresiasi terhadap karya tulis, baik di kota besar maupun pelosok Tanah Air.
Ibas juga menyoroti bagaimana teknologi, meskipun mempermudah akses informasi, bisa menjadi distraksi yang menghambat fokus menulis dan membaca.
Baca Juga:
Kader Minta AHY Pimpin Lagi Partai Demokrat Periode 2025-2030
Selain itu, maraknya plagiarisme dan pembajakan buku semakin mempersulit penulis untuk mendapatkan haknya.
"Banyak penulis menggantungkan penghidupan mereka pada royalti, tetapi hak cipta sering kali diabaikan, sehingga kesejahteraan mereka terancam," ujar Ibas.
Ia menegaskan bahwa negara harus hadir dengan kebijakan yang berpihak pada penulis. Melalui MPR RI, Fraksi Partai Demokrat berkomitmen untuk mengawal regulasi dan insentif yang mendukung industri literasi.
Salah satu upaya konkret yang telah dilakukan adalah penerapan pajak final 0,5% bagi penghasilan di bawah Rp500 juta per tahun, sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2014.
"Jika pajak terlalu tinggi, motivasi penulis untuk berkarya bisa menurun," imbuhnya.
Selain itu, Ibas mendorong peningkatan pendanaan dan hibah literasi agar lebih banyak penulis yang mendapat dukungan finansial.
Ia menyinggung alokasi dana Indonesia yang sebelumnya mencapai Rp2 triliun dan berharap agar jumlah tersebut bisa terus ditingkatkan.
Dalam kesempatan yang sama, Ibas menyoroti pentingnya sistem pendidikan yang mendukung literasi.
Ia mengapresiasi langkah Swedia yang kembali menerapkan pembelajaran berbasis textbook setelah sebelumnya mengandalkan teknologi digital.
Menurutnya, Indonesia harus terus mendorong budaya membaca melalui berbagai inisiatif seperti pameran buku dan ajang internasional seperti book fair guna meningkatkan minat baca masyarakat.
Lebih lanjut, Ibas menekankan bahwa jumlah buku yang beredar di masyarakat harus semakin banyak, dengan kualitas yang baik dan isi yang membangun.
"Kita perlu memastikan buku yang beredar bukan hanya sekadar banyak, tetapi juga berkualitas dan menginspirasi, bukan yang menyesatkan atau mengandung hoaks," tegasnya.
Sebagai bentuk apresiasi terhadap para penulis, Ibas juga mengusulkan lebih banyak penghargaan dan event literasi untuk mengapresiasi karya mereka.
Ia menutup sambutannya dengan mengajak semua pihak untuk terus berkarya dan menjaga semangat literasi.
"Membaca dan menulis bukan sekadar ekspresi diri, tetapi juga cara kita memajukan bangsa. Teruslah berkarya, berbagi cerita, dan menginspirasi," pungkasnya.
Senada dengan itu, salah satu peserta acara, penulis novel Meisya Sallwa, berharap pemerintah bisa mengambil langkah tegas terhadap pelaku plagiarisme.
"Banyak buku yang diplagiat tanpa ada efek jera. Dampaknya bukan hanya bagi penulis, tetapi juga bagi seluruh industri literasi. Kami berharap ada kebijakan yang lebih konkret untuk menanggulangi masalah ini," ungkap Meisya.
[Redaktur: Rinrin Kaltarina]