WahanaNews.co | Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM) bentukan Presiden Joko Widodo menyatakan ada tiga faktor penyebab terjadinya pelanggaran HAM berat.
Dalam laporan analisis Tim PPHAM, tiga faktor itu antara lain tindakan aktif aktor negara (state actor by commission), tindakan pengabaian aktor negara (state actor by omission) dan tindakan saling pengaruh antara keduanya.
Baca Juga:
Situasi HAM di Papua Tahun 2023, Ini Hasil Pengamatan Komnas HAM
"Secara umum ditemukan tiga pola," mengutip laporan ringkasan eksekutif PPHAM, Kamis (12/1).
Tim PPHAM menyatakan faktor penyebab pelanggaran HAM berat terjadi didasari berbagai faktor yang berkaitan. Bukan faktor tunggal.
"Pertemuan antara faktor kesadaran ideologis dan kepentingan material bisa menjadi penyebab pelanggaran HAM yang berat. Dua hal itu mewujud dalam kekuasaan dan persoalan kongkrit kehidupan yang terkait dengan ekonomi, politik, dan sosial."
Baca Juga:
Persoalkan Pelanggaran HAM, Anggota TNI Tantang BEM UI KKN di Wilayah KKB
Tim PPHAM menyatakan posisi negara dalam bertindak atas berbagai situasi itu yang menjadi penyebab terjadinya pelanggaran HAM yang berat di masa lalu.
"Tindakan negara itu, dalam temuan lapangan, menjadi penyebab jatuhnya korban," mengutip laporan ringkasan eksekutif PPHAM.
Tim PPHAM mengelompokkan tindakan tersebut ke dalam dua kategori.
Pertama, tindakan negara yang secara normatif merupakan bagian dari tindakan pelanggaran HAM yang berat.
"Tindakannya antara lain pembunuhan, penyiksaan, penculikan atau penghilangan orang secara paksa, pengusiran, penganiayaan dan/atau kekerasan, serta perkosaan dan kekerasan seksual lainnya," mengutip laporan ringkasan eksekutif PPHAM.
Kedua, tindakan lainnya yang meneguhkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat, antara lain pengambilalihan properti secara paksa, kerja paksa, penjarahan, perusakan, dan pembakaran properti (rumah, maupun rumah ibadah).
"Penghilangan status kewarganegaraan, pengancaman, pemberian stigma dan diskriminasi sistematis, serta penghilangan hak-hak sipil politik dan sosial-ekonomi."
Tim PPHAM juga mengelompokkan korban pelanggaran HAM berat ke dalam tiga kategori, antara lain (1) korban langsung (2) korban tidak langsung dan (3) korban yang tidak teridentifikasi (unidentified victims).
Sejauh ini, Presiden Jokowi telah mengakui ada 12 pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di masa lalu.
"Dengan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1).
Kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Jokowi pernah terjadi yakni peristiwa 1965-1966, penembakan misterius pada 1982-1985, peristiwa Talangsari di Lampung pada 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1989.
Kemudian, peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999, pembunuhan dukun santet pada 1998-1999, Simpang KKA di Aceh pada 1999, peristiwa Wasior di Papua pada 2001-2002, peristiwa Wamena Papua pada 2003, dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003.[zbr]