WahanaNews.co | Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
menyiapkan sejumlah strategi untuk menangani konflik agraria yang kerap terjadi
di masyarakat.
Wakil Menteri ATR/BPN, Surya Tjandra, mengatakan, konflik agraria yang
terjadi bisa saja karena permasalahan ketimpangan akses dan kepemilikan atas
tanah.
Baca Juga:
Bobby Nasution Dampingi Menteri ATR BPN Serahkan Sertifikat Rumah Ibadah dan Tempat Pendidikan
Sebab itu, reforma agraria dicanangkan
untuk menangani permasalahan tersebut.
Selain itu, Surya menyebut, ada sejumlah hal yang harus dilakukan untuk menangani konflik
agraria.
Pertama, membutuhkan adanya leadership kuat, karena
aspek lintas sektor sangat dominan.
Baca Juga:
Istri Mantan Menteri BPN Jadi Tersangka Kasus Penggelapan
Kedua, koordinasi dan komunikasi
efektif antar-kementerian/lembaga.
Ketiga, pemahaman menyeluruh terhadap
kebutuhan masyarakat.
Selain itu, Surya mengaku, penyelesaian sengketa pertanahan juga membutuhkan waktu, karena sebagian persoalan timbul akibat masalah
prosedural.
Sebab itu, perlu kehati-hatian dalam
mengurai permasalahan tersebut.
Hal ini yang kerap kali juga terjadi
dalam sengketa agraria antara masyarakat dengan korporasi.
"Kami berharap ada penyelesaian yang
sistematis," kata Surya, saat diskusi virtual, Rabu (6/1/2021).
Sementara itu, Sekretaris Jenderal
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika,
mengatakan, data KPA mencatat, sejak tahun 2015 hingga tahun 2020
terdapat 2.288 konflik agraria yang bersifat struktural.
KPA menyebut, penyelesaian konflik
agraria mengalami kemacetan luar biasa selama 2020, karena
adanya pengabaian dari pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik.
KPA menilai, perlu ada
perubahan paradigma yang mutlak untuk dilakukan dalam melihat hak rakyat atas
tanah yang sifatnya konstitusional.
Paradigma ini juga perlu memahami dan
mengoreksi terhadap konsep-konsep tanah negara dan kawasan hutan
yang dinilai salah kaprah dan telah banyak memasukkan desa-desa dan kampung-kampung ke dalam
klaim tanah negara, kawasan hutan, termasuk kawasan konsesi perusahaan.
KPA mengusulkan perlunya pembentukan
badan khusus untuk penyelesaian konflik agraria yang bersifat struktural dan
eksekutorial.
Pasalnya, seringkali
kelembagaan di banyak kementerian menangani konflik hanya menerima pengaduan. Akan
tetapi tidak menuntaskan konflik dan tidak bersifat eksekutorial.
Sebab, hal ini sifatnya lintas
sektoral, sehingga harus dipimpin langsung oleh Presiden
dan proses penyelesaian harus sesuai dengan tujuan reforma agraria.
"Dengan adanya kelembagaan khusus yang
otoritatif dan eksekutif ini, proses pelepasan klaim-klaim
konsesi dan hak atas tanah yang puluhan tahun menjerat masyarakat dapat
direalisasikan secara konkret, sistematis, cepat dan tepat sasaran," tutur
Dewi. [dhn]