WahanaNews.co | Ketua Harian Komisi Kepolisian
Nasional (Kompolnas), Benny Mamoto, menyatakan, ada 37 eks anggota Front Pembela Islam ( FPI)
yang bergabung ke Jemaah Ansharut Daulah (JAD) dan Mujahidin Indonesia Timur
(MIT).
JAD dan
MIT telah dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena keterlibatan mereka
dalam sejumlah aksi terorisme di Tanah Air.
Baca Juga:
Habib Rizieq Shihab Singgung Nama Ahok dalam Istighosah Kubro PA 212
"Saya
buka datanya, ada 37 anggota FPI, atau dulunya anggota FPI, yang bergabung
dengan JAD atau MIT, dan sebagainya, yang terlibat aksi teror. Ada yang akses
bersenjata ke Filipina Selatan, Aceh, ada yang melakukan pengeboman Polresta
Cirebon," ujar Benny, dalam diskusi virtual di kanal YouTube Medcom.id, Minggu (13/12/2020).
"Ada
yang menyembunyikan Nurdin M Top. Ada yang merakit bom dan sebagainya.
Data-data ini memang belum dipublikasikan ke media massa. Ini sudah melalui
proses hukum. Sudah divonis lewat pengadilan sehingga ini sahih datanya," kata
Benny.
Benny
menambahkan, dari data-data tersebut, ia menyimpulkan ada sebagian anggota FPI
yang memang pernah menjalani pelatihan paramiliter dan memiliki senjata.
Baca Juga:
Bahas Normalisasi, Anies: Pembubaran FPI dan HTI Telah Diputuskan dan Disepakati
Karena
itu Benny mengatakan, data tersebut harus menjadi masukan bagi Polri dalam
menangani kasus yang melibatkan anggota FPI.
"Ketika
melihat data seperti ini maka ketika menghadapi mereka harus mempertimbangkan
kemampuan itu. Bahkan ada yang masih aktif jadi anggota FPI (pernah)
nyembunyikan Nurdin M Top di Pekalongan dan sebagainya," ujar Benny.
"Inilah
fakta yang kemudian kita harus ekstra hati-hati menghadapi kelompok ini. Kalau
kita meruntut vonis pengadilannya itu ada. Jadi bukan rekayasa dan pembentukan
opini," lanjut dia.
Saat
ini Bareskrim Polri tengah menangani kasus penembakan enam anggota FPI yang di
jalan Tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020. Sebelumnya kasus tersebut ditangani Polda Metro Jaya.
Kabareskrim, Komjen
Listyo Sigit Prabowo, menyatakan, Mabes Polri lewat Bareskrim sengaja mengambil
alih kasus tersebut untuk menghindari konflik kepentingan.
Sebab,
dalam kasus tersebut, ada personel Polda Metro Jaya yang menjadi korban,
sehingga dikhawatirkan mengganggu objektivitas penyidik.
"Untuk
menjaga profesionalsime, obyektivitas dan transparansi penyidikan, maka
penyidikan dilaksanakan secara scientific crime investigation," kata
Listyo.
Dalam
kasus tersebut, Polri dan FPI memberikan keterangan yang berbeda.
Polri, lewat
Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol Fadil Imran, menyatakan, anggota FPI menyerang polisi lebih dulu sehingga polisi
menembak keenam anggota FPI hingga tewas.
Sementara
versi FPI, penembakan keenam anggota mereka terjadi saat polisi mengadang
anggota FPI tersebut. [qnt]