WahanaNews.co | Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 tidak
terlepas dari pengibaran bendera pusaka, Sang Saka Merah Putih, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.
Ada kisah menarik terkait asal usul
bahan Bendera Pusaka Merah Putih yang dijahit oleh Ibu Negara, Fatmawati.
Baca Juga:
Sikapi Berbagai Isu Miring, Kemenko Polhukam Panggil Pengelola PIK
Menurut Buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno, Volume 1,
yang terbit 1978, Fatmawati menceritakan dari mana dia
mendapatkan kain untuk bendera merah putih tersebut.
Dalam buku tersebut, Ibu Fat,
panggilan akrab istri Presiden Soekarno ini, berkisah.
Suatu hari, Oktober 1944, tatkala
kandungannya berumur sembilan bulan (Guntur lahir pada 3 November 1944),
datanglah seorang perwira Jepang membawa kain dua blok.
Baca Juga:
Jokowi dan Suara Parpol soal Amandemen UUD
"Yang satu blok berwarna merah, sedangkan yang lain berwarna putih. Mungkin dari kantor Jawa
Hokokai," tukas Fatmawati, kala itu.
Dengan kain itulah, Ibu Fat
menjahitkan sehelai bendera merah putih dengan menggunakan mesin jahit tangan.
Lalu, siapa perwira Jepang yang
mengantarkan kain merah putih kepada Fatmawati itu?
Dikisahkan, perwira tersebut adalah
seorang pemuda bernama Chairul Basri, dan kain merah putih itu
diperolehnya dari Hitoshi Shimizu, Kepala Sendenbu (Departemen Propaganda).
Pada 1978, Hitoshi Shimizu diundang
Presiden Soeharto untuk menerima penghargaan dari Pemerintah Indonesia, karena dianggap berjasa meningkatkan hubungan Indonesia-Jepang.
Usai menerima penghargaan, Shimizu
bertemu dengan kawan-kawannya semasa pendudukan Jepang.
"Pada kesempatan itulah Ibu Fatmawati bercerita kepada Shimizu bahwa bendera pusaka itu kainnya dari Shimizu," ujar Chairul Basri, dalam
memoarnya, Apa yang Saya Ingat.
Pada kesempatan lain, waktu berkunjung
lagi ke Indonesia, Shimizu menceritakan kepada Chairul Basri bahwa dia pernah
memberikan kain merah putih kepadanya untuk diserahkan kepada Fatmawati.
Kain itu diperoleh dari sebuah gudang
Jepang di daerah Pintu Air, Jakarta Pusat, di depan bekas Bioskop Capitol.
"Saya diminta oleh Shimizu untuk
mengambil kain itu dan mengantarkannya kepada Ibu
Fatmawati," kenang Chairul.
Sementara, dalam
versi lain, diceritakan jika kain berwarna merah yang dijadikan bendera
tersebut berasal dari warung tenda soto yang dibeli seharga Rp 500 sen.
Dikisahkan, kala itu
Fatmawati sudah membuat bendera Merah Putih sebelum 16 Agustus 1945.
Namun, lantaran dianggap kekecilan,
karena panjangnya hanya 50 sentimeter, dia pun berencana membuat
kembali bendera tersebut.
Namun, saat membuka lemari pakaiannya,
Ibu Fat hanya menemukan selembar kain putih bersih bahan seprai.
Dia tak punya kain berwarna merah sama
sekali.
Di saat yang bersamaan, tersebutlah seorang pemuda bernama Lukas Kustaryo (di kemudian
hari masuk militer dengan pangkat terakhir Brigjen), yang
berada di kediaman Soekarno.
Ibu Fat kemudian menyuruh pemuda ini mencari
kain merah untuk bendera pusaka.
Menurut penuturan Lukas Kustaryo pada
majalah Intisari edisi Agustus 1991,
dia lantas berkeliling, dan akhirnya menemukan kain merah
yang tengah dipakai sebagai tenda sebuah warung soto.
Kemudian, kain merah tersebut
ditebusnya dengan harga Rp 500 sen, dan menyerahkannya kepada Ibu
Fat.
Akhirnya, Ibu Fat menjahit bendera
Merah Putih yang baru dengan ukuran 276 x 200 cm, malam itu
juga, untuk digunakan keesokan harinya.
Bendera itu akhirnya dikibarkan pada
hari Jumat, 17 Agustus 1945, sekaligus menjadi bendera pusaka di
kemudian hari.
Sang Saka Merah Putih terakhir kali
berkibar pada 1969, sebelum kemudian pemerintah RI membuat bendera
duplikat dengan ukuran 300 x 200 cm. [dhn]