WahanaNews.co, Jakarta - Letjen TNI (Purn) Soegito pernah memerintahkan Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencari makanan saat meletus peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari).
Peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial itu terjadi pada 15 Januari 1974 silam.
Baca Juga:
Luhut: Ada Menteri yang Sudah Ditawari Mundur, Tapi Tak Mundur-mundur
Kala itu, Letjen Soegito yang menjabat Wadan Grup 1 RPKAD yang kini sudah berganti nama menjadi Kopassus diberi tugas ikut mengamankan Jakarta yang sedang dilanda kerusuhan.
Dikisahkan dalam buku "Letjen Purn Soegito Bakti Seorang Prajurit", Soegito sedang menjalankan rutinitasnya sebagai Wadan Grup 1 RPKAD sambil menunggu panggilan dari Seskoad.
Siang itu, 15 Januari 1974, tumben Soegito tidak langsung pulang ke rumah setelah apel siang. Ia masih harus menyelesaikan satu pekerjaan lagi sebelum berencana angkat kaki dari kantor.
Baca Juga:
Menko Luhut Sebut Jokowi Bakal Kenalkan Penerusnya ke Pemimpin Dunia
Namun tiba-tiba Danjen Kopassandha Brigjen Witarmin memanggilnya. "Mayor Gito, siapkan pasukan satu kompi. Segera atasi kekacauan di Senen. Pertama, Mayor Gito lapor ke Mayjen Mantik di Merdeka Barat," perintah Pak Witarmin dengan tegas, dikutip Kamis (22/8/2024).
Soegito pun bertanya tanya dalam hati, ada apa ini? Sedangkan sang komandan tidak memberikan keterangan lebih lanjut tentang situasi di lapangan yang bisa dijadikannya acuan dalam bertindak.
Memang sejak beberapa hari sebelumnya, Soegito sudah mendengar desas-desus rencana mahasiswa turun ke jalan untuk menentang kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta.
Ternyata memang benar. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Malari itu adalah demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi di Jakarta pada 15 Januari 1974.
Peristiwa Malari merupakan suatu gerakan mahasiswa yang merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah terkait kerja sama dengan pihak asing untuk pembangunan nasional.
Para mahasiswa menganggap kebijakan pemerintah sudah menyimpang dan tidak berhaluan lagi kepada pembangunan yang berpihak kepada rakyat.
Mahasiswa menilai malah dengan kerja sama ini semakin memperburuk kondisi ekonomi rakyat. Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), lembaga pemodal asing bentukan Amerika Serikat, Jan P Pronk dijadikan momentum awal untuk demonstrasi antimodal asing ini.
Pronk tiba di Jakarta pada Minggu 11 November 1973. Ketika tiba di Bandara Kemayoran, mahasiswa menyambutnya dengan berdemonstrasi. Puncaknya adalah saat kunjungan PM Jepang dari 14-17 Januari itu.
"Waduh, bagaimana ini, anggota kan sudah pada pulang semua dan sebagian besar anggota kan tinggal di luar asrama," gumam Perwira Pertama RPKAD ini saat meninggalkan ruangan Danjen. Tapi ia harus bergerak cepat.
Soegito masih sempat pulang untuk makan siang dan mengambil radio 4 band kebanggaannya. Sekitar pukul 4 sore, iring-iringan truk meninggalkan markas Kopassandha di Cijantung.
Tidak langsung ke Senen, sesuai perintah Danjen, pasukan bergerak ke Merdeka Barat untuk menemui Pangdam Jaya Mayjen Gustaf Henrik Mantik. Seperti halnya Danjen, perintah yang diterima Soegito dari Pangdam juga masih kabur.
"Cepat atasi di Senen, jangan sampai bakar-bakar," perintah Pangdam. Soegito mencoba meminta kejelasan, apa yang harus dilakukannya. "Terserah Jullie lah," katanya dengan gaya Belanda.
Pasukan pun langsung bergerak ke arah Senen. Ternyata di sana massa sudah berkumpul sangat banyak, berbaur antara mahasiswa dan rakyat. Melihat dinamika di lapangan ini, Soegito segera membagi kekuatannya yang tidak seberapa itu.
Ada yang tetap di Senen, sementara yang lain disebar ke arah Salemba dan Patung Tani. Memang penumpukan massa terjadi di tiga titik itu.
Dengan mengonsentrasikan pasukannya di tiga titik itu, Soegito berharap bisa melokalisir kerusuhan sehingga tidak merembet ke tempat yang lain. Soegito dengan beberapa anggota dan carakanya mengambil posisi di tengah-tengah, di pertigaan Senen.
Sejumlah banguan terlihat sudah mengepulkan asap. Sore itu Jakarta terasa terlalu cepat gelap karena ditutupi asap kebakaran. Dalam kekacauan itu, tiba-tiba datang seseorang sambil tergopoh-gopoh dengan raut muka pucat.
Ia ternyata pemilik showroom mobil Astra, minta tolong supaya gedungnya bisa diamankan karena hendak dibakar massa. Mantan Pangdam Jaya ini tidak segera menjawab, karena bingung pasukan mana yang harus digerakkannya.
Ia hanya dengan beberapa anggotanya di perempatan Senen itu. "Nanti sajalah," jawab Soegito tegas, sebelum salah seorang sersan anggotanya berinisiatif menolong.
Sersan itu dan beberapa rekannya segera lari ke arah showroom. Soegito melihat dari kejauhan aksi anak buahnya itu melepaskan beberapa kali tembakan ke atas untuk membubarkan massa yang ingin membakar gedung tersebut.
"Hebat sersan itu walau agak ngawur," puji Soegito. Pasukan Kopassandha menghabiskan malam itu di sekitaran Senen sambil berjaga-jaga.
Karena terburu-buru, Soegito lupa membawa radio komunikasi. Alhasil ia tidak bisa menghubungi siapa pun untuk berkoordinasi, termasuk ke Mako Kopassandha di Cijantung.
Guna mengefektifkan koordinasi dan menghindari tindakan yang keliru, Soegito memerintahkan Carakanya untuk menyampaikan informasi yang diperlukan baik ke Cijantung maupun ke Garnisun di Gambir.
Karena tidak bisa berkomunikasi ke Cijantung, sampai malam itu pasukan Kopassandha sama sekali tidak mendapat dukungan logistik.
Ia sadar betul, pasti saat itu sebagian besar anggotanya sudah kelaparan karena sejak sore belum mendapat ransum.
Mau minta ke Kodam atau ke Mabes ABRI, hari sudah gelap sehingga tidak tahu siapa yang bisa membantu dalam kondisi panik seperti itu. Soegito pun tiba-tiba teringat dengan seorang kenalannya di daerah Jakarta Pusat, yang mungkin bisa diminta tolong.
Ia lalu memanggil Luhut Pandjaitan dan memerintahkannya menemui seseorang di Jakarta Pusat untuk mendapatkan bantuan makanan. Balik-balik Luhut membawa roti banyak sekali.
"Saya tidak tahu anggota di tempat yang lain, apakah bisa makan malam itu," kenang Soegito menyesalkan sikap pimpinan saat itu yang tidak memikirkan logistik anggotanya. Dalam dua hari tugas pengamanan di Senen saat peristiwa bakar-membakar itu, banyak kejadian dialami Soegito dan anggotanya.
Seperti Kapten Adrian Sitorus yang terkena lemparan botol sehingga melukai kepalanya. Sambil marah-marah, Adrian membentak-bentak ke arah gerombolan massa dan menyuruh mereka lompat ke dalam api.
"Tapi Adrian luar biasa saat itu, dia sanggup membendung aksi anarkis mahasiswa, dia pahlawannya," ujar mantan Pangkostrad ini. Di tengah kekacauan dan kesibukannya mengendalikan situasi di lapangan, Soegito masih direpotkan dengan laporan ban truk pengangkut pasukan bocor.
Kepada sopirnya ia perintahkan untuk mengambil saja ban truk yang ditinggalkan pemiliknya di pinggir jalan. Ada lagi anggotanya yang datang kepadanya sambil membawa segenggam perhiasan dan jam-jam bermerk terkenal.
Soegito sempat tertegun sebelum bilang, serahkan saja ke Kodam. Saat itu ia terngiang ucapan ayahnya Soeleman untuk jangan sekali-kali mengambil sesuatu yang bukan haknya. Selang berapa lama, anggota tadi kembali dan melaporkan bahwa barang-barang tadi sudah diserahkannya ke Garnisun sesuai perintah Pangdam Jaya.
Sebuah peristiwa tragis dialami kelompok pasukan yang berada di sekitar Salemba. Mereka terpaksa memberondongkan AK-47 ke sebuah mobil jip yang ditumpangi sejumlah pemuda, karena nekat melewati barikade dan tidak mau menepi saat diminta berhenti.
Peristiwa horor ini dinilai Soegito sebagai sebuah pengalaman yang sangat pahit, karena anggotanya harus mengambil tindakan tegas dengan korban warga sipil.
Siang itu, hari kedua, akhirnya makanan yang ditunggu-tunggu datang juga. Di hari yang sama juga datang pasukan lain dari batalion kavaleri Kodam Jaya disusul inspeksi dari Danjen Kopassandha Brigjen Witarmin.
Menjelang tengah hari, datang lah Menhankam Jenderal Maraden Panggabean ke kawasan Senen. Kehadirannya dimaksudkan untuk menenangkan massa agar tidak melakukan tindakan anarkis. Sambil berdiri di atas mobil, Jenderal Panggabean berbicara melalui pengeras suara kepada pasukan ABRI yang didengar juga oleh para pengunjuk rasa.
"Saya minta petugas tidak bertindak seperti kemarin lagi menggunakan tembakan...." Pada hari ketiga, pasukan pengganti datang dari Cijantung dipimpin Mayor Inf Sintong Panjaitan.
[Redaktur: Andri Frestana]