WahanaNews.co, Jakarta – Dalam sidang praperadilan yang digelar hari ini, Selasa (7/11/2023) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) siap membuktikan bahwa penetapan status tersangka terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) sudah sesuai prosedur.
"Hari ini agenda pembacaan jawaban dari tim biro hukum KPK. Kami jelaskan bahwa seluruh proses penyidikan, termasuk penetapan tersangka telah sesuai ketentuan undang-undang maupun hukum acara pidana dan SOP di KPK," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (7/11/2023) melansir ANTARA.
Baca Juga:
Usai Sidang Divonis 10 Tahun Penjara, Sidang SYL Sempat Ricuh
Ali mengatakan tim biro hukum KPK juga akan memberikan keterangan disertai uraian alat bukti terkait penetapan tersangka tersebut.
"Dari jawaban yang sudah kami persiapkan dengan matang tersebut sudah seharusnya nanti hakim yang mengadilinya memutus menolak permohonan dimaksud," ujarnya.
Terpisah, Kuasa Hukum SYL Dodi Abdul Kadir mengatakan penetapan kliennya sebagai tersangka oleh KPK melanggar ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHAP, UU KPK, Perkom 7/20 dan Putusan MK 21/2014.
Baca Juga:
Terbukti Lakukan Pemerasan di Kementan, SYL Divonis 10 Tahun Penjara
"Berdasarkan hukum, dasar teori, fakta, dan argumentasi, SYL telah dinyatakan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tanpa menggunakan bukti-bukti yang diperoleh dari proses penyidikan serta tanpa memeriksa calon tersangka sebagai saksi pada proses penyidikan yang sama," ujar Dodi.
Oleh karena itu, lanjut Dodi, cukup beralasan SYL memohon kepada Hakim Tunggal Alimin Ribut Sujono untuk mengabulkan permohonan praperadilan.
KPK pada Jumat, 13 Oktober 2023, resmi menahan mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementerian Pertanian Muhammad Hatta (MH) terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi di kementerian tersebut.
Perkara dugaan korupsi tersebut bermula saat SYL menjabat sebagai Menteri Pertanian periode 2019 sampai 2024.
Dengan jabatannya tersebut, SYL kemudian membuat kebijakan personal yang di antaranya melakukan pungutan hingga menerima setoran dari ASN internal Kementan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, termasuk keluarga intinya.
Kurun waktu kebijakan SYL untuk memungut hingga menerima setoran tersebut berlangsung dari tahun 2020 sampai 2023.
SYL menugaskan Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono (KS) dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Kementan Muhammad Hatta (MH) untuk melakukan penarikan sejumlah uang dari unit eselon I dan II.
Dalam bentuk penyerahan tunai, transfer rekening bank hingga pemberian dalam bentuk barang maupun jasa.
Atas arahan SYL, KS dan MH memerintahkan bawahannya untuk mengumpulkan sejumlah uang di lingkup eselon I, yakni para direktur jenderal, kepala badan hingga sekretaris masing-masing eselon I.
Dengan besaran nilai yang telah ditentukan SYL dengan kisaran besaran mulai 4.000 dolar AS sampai dengan 10.000 dolar AS.
Penerimaan uang melalui KS dan MH sebagai representasi orang kepercayaan SYL itu dilakukan rutin setiap bulan-nya dengan menggunakan pecahan mata uang asing.
KPK mengatakan bahwa uang yang dinikmati SYL bersama-sama dengan KS dan MH sebagai bukti permulaan berjumlah sekitar Rp13,9 miliar. Meski demikian tim penyidik KPK masih terus melakukan penelusuran lebih mendalam terhadap jumlah pastinya.
SYL, KS, dan MH telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan selama 20 hari di rumah tahanan (Rutan) KPK untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut.
Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan tersangka SYL, turut pula disangkakan melanggar Pasal 3 dan/atau 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
[Redaktur: Alpredo Gultom]