WahanaNews.co | Direktur Lembaga Biologi Molekuler
(LBM) Eijkman, Amin Soebandrio, berpendapat, kegaduhan soal vaksin Nusantara semestinya
tidak ada jika semua pihak yang terlibat mengacu pada protokol penelitian yang
telah disepakati bersama.
Amin
menjelaskan, protokol penelitian itu di antaranya memuat tolok ukur yang
digunakan bagi asesor terhadap pengembangan vaksin.
Baca Juga:
Viral Remaja Bisa Berjalan Usai Vaksin Nusantara, Pakar IDI Buka Suara
Namun,
ia melihat ada inkonsistensi terhadap protokol penelitian yang telah dibuat.
"Cara
kita menilai apakah penelitian ini berjalan baik atau tidak, fair atau tidak,
itu mengacu ke situ. Karena saya melihat masih ada beberapa hint inkonsitensi
terhadap protokol yang disepakati," kata Amin dalam diskusi Polemik MNC Trijaya FM, Sabtu
(17/4/2021).
Menurut
dia, pangkal polemik vaksin yang menggunakan sel dendritik itu karena ada
kekeliruan dalam menafsirkan protokol penelitian yang seharusnya jadi
satu-satunya acuan dalam penilaian penelitian.
Baca Juga:
RSPAD: Tim Peneliti Cek Soal Kabar Penerima Vaksin Nusantara Bisa Berjalan Kembali
Amin
mengatakan, jika para peneliti, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta
badan penilai lain mengacu pada dokumen yang sama, maka tidak akan muncul
polemik.
"Sebetulnya
kalau kita semua mengacu ke kaidah ilmiah yang sudah disepakati seharusnya
tidak ada polemik," ujarnya.
"Mungkin
hulunya dari situ. Artinya, ketika kita menyiapkan dokumen awal yang harus
dipegang bersama, itu yang harus dijadikan acuan. Kalau kita keliru menafsirkan
dan menerapkan dokumen itu, itu yang menjadi permasalahan," tambah Amin.
Pengembangan
vaksin Nusantara menimbulkan pro-kontra karena peneliti melanjutkan ke uji klinik
fase dua meski belum ada izin dari BPOM.
Kepala
BPOM, Penny K Lukito, dalam konferensi pers yang diikuti secara daring dari
Jakarta, Jumat (16/4/2021), mengemukakan, vaksin merupakan
produk yang sangat kritis karena menyangkut jiwa manusia dalam penggunaannya.
Oleh
sebab itu, seluruh proses pengembangan vaksin harus memerhatikan standar yang
berlaku agar manusia yang juga menjadi subjek penelitian dapat terlindungi.
"Tidak
hanya untuk melindungi subyek penelitian, standar yang berlaku baik di standar
internasional maupun standar di Indonesia harus dipatuhi agar vaksin yang
dihasilkan nantinya bermutu dan berdaya saing. Tentunya vaksin tersebut juga
memenuhi aspek keamanan, mutu, efektivitas, dan kasiat," kata Penny.
Terkait
dengan pengembangan vaksin Nusantara atau vaksin dendritik, Penny mengatakan,
penilaian dari uji klinik fase pertama sudah selesai dilakukan.
Dari
penilaian tersebut dihasilkan sejumlah catatan yang harus diperbaiki oleh para
peneliti sebelum melanjutkan ke fase berikutnya.
"Hasil
dari penilaian Badan POM terkait fase pertama dari uji klinik vaksin dendritik
menyatakan belum bisa dilanjutkan ke fase kedua. Ini karena ada temuan dan
koreksi dari proses uji klinik. Koreksi tersebut harus diperbaiki dulu kalau
ingin maju ke fase kedua," ujarnya. [qnt]