WahanaNews.co | Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, mengatakan, dirinya
dan juga banyak pejabat pemerintah kerap menjadi sasaran pemberitaan yang
diplintir, melenceng dari fakta.
"Seharusnya, media mainstream menjaga diri agar tidak
ikut-ikutan menyebar sensasi dan hoaks, agar lebih membuat pemberitaan yang
objektif dan menyejukkan, serta memotivasi masyarakat," ujar Mahfud MD, dalam sesi diskusi Dewan Pers dengan
para pimpinan redaksi media dan asosiasi pers, yang
diselenggarakan secara daring, Rabu (4/8/2021) malam.
Baca Juga:
Berantas Judi Online Pemerintah Bakal Bentuk Satgas Lintas Lembaga
Dirinya mengerti, dalam penulisan
judul-judul berita, ada teknik yang disebut clickbait untuk membuatnya lebih menarik, sehingga memancing orang untuk meng-click dan membaca.
"Buat saya, itu tidak masalah, sepanjang yang dilakukan tidak mengarahkan pembaca untuk membuat
kesimpulan salah atas judul berita itu. Apalagi kalau judulnya sudah
jelas-jelas salah," ujar Menko Mahfud.
Hadir dalam diskusi ini, selain Menko
Polhukam, adalah Ketua Dewan Pers, M Nuh; para
anggota Dewan Pers; para
ketua asosiasi pers, antara lain AJI, IJTI, PWI, AMSI, SPS; dan para pemimpin redaksi.
Baca Juga:
Mahfud MD: Dinamika Politik Indonesia Bergeliat Pasca Putusan MK
Hadir juga Juru Bicara Wakil Presiden,
Masduki Baidlowi, dan Juru Bicara Menteri BUMN, Arya
Sinulingga.
Dalam diskusi daring, Menko
menyampaikan, informasi yang beredar di publik dalam kondisi pandemi saat ini
semakin mengkhawatirkan.
Informasi palsu atau hoaks merajalela, terutama yang bertebaran di media sosial.
Data terbaru, misalnya,
dari tanggal 23 Januari 2021 hingga 3 Agustus 2021, jumlah hoaks tentang Covid-19 mencapai 1.827 macam.
Khusus untuk vaksin
saja, ada 278 hoaks.
Menurutnya, sebagian besar sudah
dilakukan take down, tapi hoax terus
tumbuh, muncul setiap hari, dan semakin banyak.
Akibatnya, masyarakat yang menjadi
korban.
"Nah, pada titik ini, peran
teman-teman media sangat dibutuhkan untuk mengimbangi dengan berita-berita yang
kredibel dan mencerahkan publik. Jangan sampai justru tergoda untuk ikut
membuat angle atau judul berita yang
sensasional, menyerupai hoaks di media sosial," ujar Menko.
Mantan anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, yang juga hadir dalam pertemuan ini,
menegaskan, esensi dari kemerdekaan pers adalah pers mengatur diri sendiri.
"Pers bukan hanya membuat peraturannya
sendiri, tapi juga menertibkan dirinya sendiri. Tapi,
kenyataannya, pers tidak sanggup mengatur diri sendiri," ujar
mantan Ketua Umum IJTI ini.
Meski begitu, Imam juga meminta
pemerintah dan penegak hukum bersikap fair
dalam menangani kasus sengketa pers.
"Mumpung ada Pak Mahfud, Mohon Pak, saat ada kasus pers di mana Dewan Pers sudah menyelesaikan, tolong
itu dihormati, baik itu oleh polisi dan kejaksaan. Karena, kalau kemudian keputusan Dewan Pers tidak dihormati, maka Dewan
Pers tidak punya kekuatan dirinya sendiri, mengatur masalah pers," tegas
Imam.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi
Media Siber Indonesia (AMSI), Wenseslaus Manggut,
mengusulkan agar ada rapor yang dikeluarkan Dewan Pers secara rutin kepada
media supaya berhati-hati dalam memproduksi konten berita.
"Saya kira, yang relevan untuk internal industri media, mungkin memang perlu
kita supaya ada rapor atau apa, yang sifatnya mingguan. Mungkin dari Dewan Pers, misalnya, perlu didata temen-temen yang melanggar, tanpa menunggu pengaduan. Karena, kalau
menunggu pengaduan, prosesnya akan lama. Kalau tidak
mengadu, teman-teman yang menulis salah, ya dia merasa aman-aman aja,"
ujarnya.
Menurut Ketua Umum IJTI, Yadi
Hendriyana, industri pers berkembang sangat pesat, sehingga situasinya berbeda
dengan sebelum reformasi.
Di era digital saat ini, media-media online yang mendominasi.
"Satu media online rata-rata per hari harus menerbitkan sekitar di atas 500
artikel. Artinya, bagi seorang Pemred, itu adalah tantangan yang luar biasa.
Sulit bagi Pemred bisa mengontrol 500 sampai seribu artikel per hari. Sementara, kompetensi dari teman-teman jurnalis belum sepenuhnya memenuhi
persyaratan, bagaimana seorang jurnalis harus bekerja," ujar Yadi, yang juga salah satu pimpinan media nasional tersebut.
Jurnalis senior dan mantan Pemimpin
Redaksi Majalah Tempo, Bambang Harymurti, mengusulkan agar Dewan Pers mengaudit
media-media nasional dan memberi peringkat khusus tentang kualitas jurnalistik
masing-masing.
"Misalnya, nanti
diberi tanda hijau, kuning, atau merah, yang menandakan
kualitas berita-berita medianya, agar publik sejak awal tahu sedang berurusan
dengan media jenis apa," ujar Bambang, yang juga
mantan anggota Dewan Pers. [dhn]