WahanaNews.co | Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak DPR RI untuk segera membahas amendemen Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) guna mengakomodir pengaduan konsumen pada era digital, termasuk aduan mengenai refund yang marak sepanjang 2022.
“Saat ini UUPK sudah masuk prolegnas, sehingga DPR perlu segera melakukan pembahasan amendemen UUPK untuk melindungi masyarakat konsumen,” ujar Ketua YLKI, Tulus Abadi dalam Jumpa Pers Refleksi Pengaduan Konsumen secara daring, Jumat (20/1/2023).
Baca Juga:
Pelindungan Konsumen Sistem Pembayaran
YLKI mencatat, pengaduan seputar refund berada pada nomor urut pertama pada aduan terkait permasalahan belanja online. Sebanyak 32 persen dari konsumen terkait belanja online mengeluhkan proses refund yang lama dan melebih tenggat waktu yang dijanjikan.
Persoalan terkait refund, kata dia, juga mendominasi aduan pada permasalahan perumahan dengan persentase 27 persen. Konsumen kerap kali mengadukan agen perumahan yang tidak mengembalikan Down Payment (DP) karena gagal melewati BI checking, padahal sebelumnya dijanjikan DP akan kembali jika tidak lolos BI checking.
“Permasalahan refund dalam bertransaksi masih menjadi soal di berbagai sektor seperti uang tidak dikembalikan, uang dipotong, refund tidak jelas. Padahal secara regulasi refund merupakan hak konsumen yang dijamin oleh UUPK,” ujar Tulus.
Baca Juga:
Perlindungan Konsumen Era Digital: Ini 4 Langkah Aman Ajukan Keluhanmu
Selain mengenai refund, YLKI juga menilai UUPK yang akan diamendemen harus memberikan perlindungan pada produk adiktif karena pada UUPK saat ini belum ada aturan yang mengatur terkait iklan, marketing dan hal lainnya.
“Sehingga produk adiktif konsumen pendekatannya berbeda sehingga harus ada pasal-pasal khusus yang dimasukkan dalam amandemen UUPK tersebut,” ujarnya.
Tulus juga mendorong kepatuhan pelaku usaha terhadap implementasi UU (Perlindungan Data Pribadi) dan mencegah kebocoran data konsumen, termasuk memaksimalkan UU PDP sebagai payung hukum saat bertransaksi digital, karena pengetahuan konsumen mengenai bisnis proses terutama e-commerce masih rendah yang kemudian memunculkan konflik saat proses Cash on Delivery terjadi.
Belum lagi, menurutnya, masih banyak konsumen yang terjebak dengan iklan produk dengan iming-iming harga murah, sehingga pelaku usaha juga perlu meningkatkan literasi konsumen terhadap transaksi secara online termasuk mengenai jasa keuangan.[mga]