Menurutnya, afirmasi itu kurang tampak
diberikan pemerintah kepada kelompok minoritas. Misalnya, saat ada pemeluk
agama yang ingin mendirikan tempat ibadah.
Azyumardi mengatakan, para pengungsi Syiah di Sidoarjo dan kelompok Ahmadiyah di
Mataram mengalami persekusi oleh kelompok Islam "berjubah".
Baca Juga:
Paus Benediktus Meninggal Dunia, Menag: Dia Sosok yang Jembatani Perbedaan
Kasus intoleran itu, menurutnya, bukan
hanya terjadi di kalangan umat Islam saja, melainkan juga dialami oleh pemeluk
agama lain di Indonesia.
"Di wilayah yang mayoritas
Kristen, itu Katolik susah bikin gereja. Yang mayoritas Katolik, orang Kristen
juga susah untuk membangun," kata Azyumardi.
Ia berpendapat, kelompok
dengan relasi kekuatan yang minim di suatu lokasi akan sulit mendapat restu
mendirikan tempat ibadah dari kelompok yang memiliki relasi kekuatan yang lebih
kuat.
Baca Juga:
Beri Sambutan Natal, Yaqut Bahas Pemimpin yang Hargai Keragaman
"Ini masalah power relation sebetulnya. Siapa yang merasa dia mayoritas. Jadi,
yang begini-begini, power relation yang harus diatur, begitu ya (oleh Pemerintah).
Bagaimana supaya adil," katanya.
Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 mendasarkan pendirian rumah
ibadah pada komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang
bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
Pendirian rumah ibadah itu dinilai
akan sulit dilakukan ketika relasi kekuatan belum merata.