Oleh
ANDREA PERESTHU
Baca Juga:
Klarifikasi OCCRP: Tak Ada Bukti Jokowi Terlibat Korupsi
SELAMA20 tahun lebih saya merasa ada ganjalan dalam berbagai
interpretasi melalui "studi akademik" tentang urban proyek Jakarta pada masa
Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno.
Berbagai karya seperti patung, Hotel Indonesia,
Monumen Nasional dan juga Sarinah kerap dicap sebagai karya
"mercusuar" era Bung Karno.
Baca Juga:
Soal Yasonna Dicegah Keluar Negeri, PDIP: Apakah KPK Sedang Menerima Orderan?
Semua studi yang ada sebenarnya tidak
menawarkan paradigma apa pun.
Karena ditulis oleh generasi yang harus
menghafal bahwa semua proyek tersebut adalah "mercusuar". Titik!
Jadi, tidak ada usaha riset dari sisi logika
pembangunan, melainkan dari intepretasi sejarah arsitektur yang sangat subjektif
dan miskin argumentasi karena lemahnya dimensi riset.
Saya pernah membaca, bahwa politik mercusuar
Bung Karno disebut sebagai "alat komunikasi hegemoni politik baik di luar
maupun di dalam negeri".
Bukankah ini sebuah pernyataan akademik yang
sangat abstrak dan ilusional? Tidak berdasar dan merupakan intepretasi subjektif
pribadi.
Tidak ada argumen yang rasional ketimbang
melakukan repetoir jargon kosong "politik mercusuar".
Presiden Soekarno memang seorang arsitek.
Beliau mengapresiasi seni. Tapi beliau juga seorang presiden yang harus
membangun.
Pada awal kemerdekaan, Indonesia tidak memiliki
industri yang memadahi untuk menyerap angkatan kerja.
Bung Karno tidak memiliki pilihan lain untuk
menciptakan lapangan kerja.
Oleh karena itu perlu dibuat proyek-proyek
konstruksi jangka pendek yang bisa menyerap banyak tenaga kerja.
Lalu disebut oleh rival politik sebagai
"mercusuar".
Orang lupa bahwa membangun Monas, Sarinah
dan juga Hotel Indonesia serta menarik acara besar seperti GANEFO ke Bandung
adalah bagian dari strategi untuk memutar roda ekonomi.
Bukan untuk membuat karya monumental semata.
Lebih dari itu, serapan tenaga kerja yang luar biasa diciptakan saat itu.
Orang hanya melihat monumen dan proyek kasat
mata, sehingga mudah dikritik sebagai pemborosan uang negara.
Tapi lupa, bahwa pada kurun itu juga Presiden
Soekarno menggagas pembangunan Tol Jagorawi, dan Lingkar Luar Tanjung Priok - Cililitan
untuk memperlancar arus barang dan perdagangan dari pelabuhan ke hinterland,juga
sebaliknya.
Tujuannya untuk ekonomi. Bukan hegemoni
politik. Ini jelas bukan proyek "nation building" belaka, tapi "state
building".
Jadi hegemoni politik apa yang mau
dikomunikasikan? Serta apa untungnya?
Saya yakin beliau dengan kabinetnya yang
gonta-ganti itu, harus berpikir keras untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan
ekonomi.
Jadi istilah "mercusuar" pada zaman
Presiden Soekarno ini perlu dikaji melalui komisi sejarah yang juga harus
melihat aspek ekonomi dan pembangunan (data primer historis ekonomi).
Bukan cuma intepretasi subyektif yang terus
berulang sebagai jargon cuci otak.
Lantas, pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi)
yang getol membangun infrastruktur, semua tersentak dengan rencana dan eksekusi
pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur.
Lalu muncul lagi istilah "mercusuar Jokowi". Istilah
ini menurut saya kedaluwarsa dan tidak relevan.
Karena dari perspektif "kuno" sekali
punIndonesia ini seharusnya sudah sejak awal 1970-an perlu mengembangkan
pusat-pusat pertumbuhan (growth center).
Tapi tidak dilakukan, karena alasaan keterbatasan
dana.
Namun ironisnya, Indonesia punya banyak uang
karena oil boomingpadatahun 1970-an justru pada saat dunia
mengalami krisis minyak.
Namun sayang, berkah yang luar biasa itu tidak
diakumulasikan ke dalam infrastruktur fisik atau accumulation public capital.
Padahal, Indonesia perlu memiliki sentra
pertumbuhan baru. Pemerintah tidak bisa menunggu inisiatif swasta. Maka harus
diinisiasikan oleh sektor publik.
Apakah cocok saat ekonomi sedang terpuruk
karena pandemi Covid-19 saat ini?
Dari satu perspektif, semua kegiatan pemindahan
IKN tentu akan menciptakan lapangan pekerjaan di sektor konstruksi, juga
elektronik, logistik, transportasi, hiburan dan industri lain yang terkait
untuk menghidupkan sentra pertumbuhan baru ini.
Tidak kecil juga skala dampak pertumbuhan
ekonominya jika nanti diukur dengan parameter yang jelas.
Apakah ada dampak lingkungannya? Tentu saja!
Tapi kita dibekali dengan ilmu dan teknologi
yang harusnya dipakai untuk mengoptimalkan dampak tersebut secara lebih
lestari.
Satu hal saja, saya teringat dengan pepatah
Jepang yang begitu dalam, the closer you stand to the lighthouse, the darker
it gets.
Artinya, semakin mendekat kita ke mercusuar,
semakin gelap. Ironis, karena mercusuar fungsinya justru untuk menerangi.
(Andrea Peresthu, Pemerhati
Perkotaan)-dhn