WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Ahmad Muzani menyampaikan keprihatinannya atas fenomena organisasi masyarakat (ormas) yang menduduki lahan milik negara, dalam hal ini milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Tangerang Selatan.
Ia menilai tindakan ormas yang meminta uang hingga Rp 5 miliar sebagai syarat untuk menarik massa dari lokasi tersebut merupakan bentuk gangguan serius.
Baca Juga:
Prabowo Bahas Evaluasi Direksi BUMN dan Isu Kemanusiaan Palestina di Istana Merdeka
"Iya, saya kira fenomena ini agak mengusik karena dengan cap dan stempel apapun, ormas itu kadang-kadang menjadi problem bagi kegiatan dunia usaha," ujar Muzani di kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (23//5/2025).
Muzani menegaskan pentingnya penertiban terhadap ormas-ormas yang bertindak di luar batas hukum. Ia yakin Kementerian Dalam Negeri dan kementerian terkait dapat mengambil langkah tegas.
"Karena di satu sisi kita ingin investasi dan dunia usaha kita itu bisa maju, lancar, dan bagus," lanjutnya.
Baca Juga:
Eddy Soeparno Tegaskan MPR Tetap Pegang Keputusan KPU soal Gibran
Sebelumnya, BMKG melaporkan dugaan pendudukan lahan negara oleh ormas ke Polda Metro Jaya.
Dalam laporan tersebut, BMKG mengungkapkan bahwa ormas tersebut menempati lahan di Kelurahan Pondok Betung dan menuntut ganti rugi Rp 5 miliar.
Plt Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BMKG, Akhmad Taufan Maulana, menyatakan bahwa BMKG meminta bantuan aparat berwenang untuk menertibkan ormas yang dianggap menempati dan memanfaatkan lahan negara secara ilegal.
Tanah yang disengketakan memiliki luas 127.780 meter persegi atau sekitar 12 hektare. Lahan tersebut merupakan aset negara yang tercatat dalam Sertifikat Hak Pakai Nomor 1/Pondok Betung Tahun 2003.
Status kepemilikannya telah diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 396 PK/Pdt/2000 dan sejumlah keputusan pengadilan lain yang berkekuatan hukum tetap.
Sejak pembangunan Gedung Arsip BMKG dimulai pada November 2023, kegiatan proyek terganggu oleh sejumlah orang yang mengaku sebagai ahli waris dan mendapat dukungan dari ormas tersebut.
Mereka menuntut penghentian proyek, memaksa alat berat keluar dari lokasi, dan menutup papan proyek dengan klaim kepemilikan pribadi.
Ormas tersebut juga dilaporkan telah mendirikan pos serta menempatkan anggotanya secara permanen di area lahan yang disengketakan.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]